INTERAKSI NILAI ISLAM dan BUDAYA LOKAL PADA MASA IMPERIALISME di INDONESIA
INTERAKSI NILAI ISLAM dan BUDAYA LOKAL PADA MASA
IMPERIALISME di INDONESIA
Oleh:
1.
Itsna Ilmiana Ulfa (1710110119)
2.
Muhammad Dicky Dwi
Candra (1710110126)
3.
Muhammad Fadla Amna (1710110127)
4.
Muhammad Arifin (1710110118)
ABSTRAK
Keberhasilan Islam menyebar sangat luas di
Indonesia berkat sebuah interaksi yang melonggarkan budaya-budaya lokal
setempat tetap berkembang. Jadi sebuah interaksi sangatlah penting menentukan
sebuah keberhasilan. Islam di Indonesia sangatlah unik karena tidak ditemukan
arabisasi disana, dan merupakan murni dari sebuah produk lokal. Semua budaya
yang tidak melemahkan terhadap akidah, dapat diterima dengan baik oleh Islam,
khususnya di Indonesia yang memiliki jutaan budaya lokal. Agama merupakan
ajaran pada kebaikan serta senantiasa beradaptasi sesuai dengan zamannya.
Sebagaimana di Indonesia, banyak karakteristik Islam di sana dan kita sebagai
generasi muda wajib untuk melestarikannya.
Kata Kunci: Interaksi, Islam,
Budaya
ABSTRACT
The success of Islam has
spread very widely in Indonesia thanks to an interaction that loosens up local
cultures from developing. So an interaction is very important to determine
success. Islam in Indonesia is very unique because there is no Arabization
there, and it is purely a local product. All cultures that do not weaken the
creed are well accepted by Islam, especially in Indonesia which has millions of
local cultures. Religion is a teaching on goodness and always adapts to its
era. As in Indonesia, there are many characteristics of Islam there and we as
the younger generation are obliged to preserve it.
Keywords: Interaction,
Islam, Culture.
A.
Pendahuluan
Indonesia
merupakan Negara seribu pulau yangterdiri dari berbagai macam etnik, beragam
suku dan adat istiadat sehingga disebut sebagai Negara multicultural karena
kaya akan budaya mulai dari budaya local maupun nasional. Selain itu Indonesia
memiliki sumber daya alam yang melimpah.
Namun
Indonesia dengan segala kelebihannya masih menjadi Negara berkembang dan belum
beralih status menjadi Negara maju. Hal ini dikarenakan beberapa factor
internal. Diantaranya, kualitas SDM Indonesia yang rata-rata penduduknya tidak
menempuh pendidikan formal sampai tuntas. Oleh karena itu Indonesia berpotensi
menjadi tujuan Negara-negara Imperialis untuk melancarkan hegemoni mereka
dengan tujuan-tujuan imperial. Sehingga tidak dapat dihindari terjadinya
akulturasi, asimilasi budaya, dll.
Hingga
kini kontroversi tentang kapan awal mula Islam bersentuhan dengan bumi
Nusantara belum berakhir. Berbagai teori dan argument yang ditunjukkan oleh
para ahli tampaknya akan terus berlanjut. Terlepas dari kontroversi tersebut,
Ibnu Batuttah salah seorang pengembara muslim asal Maroko menulis mengenai
kesinggahannya di Pasai pada tahun 1345 M. Lebih lanjut ia menyebutkan
kekagumannya atas perkembangan Islam di negeri tersebut. Demikian pula terhadap
Sultan Malik Zahir sebagai penguasa Pasai, karena selain sebagai seorang kepala
pemerintahan beliaupun mahir dalam bidang hukum Islam atau fikih.[1]
Jika
merujuk pada penjelasan tersebut, maka jelas interaksi antara Islam dengan
budaya lokal paling tidak telah terjadi sejak tujuh abad yang lalu. Berawal
dari sinilah kemudian Islam mulai menyebar ke seluruh Nusantara meliputi, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku. Satu hal yang diketahui bersama, bahwa
jauh sebelum Islam merambah wilayah-wilayah Nusantara, penduduk wilayah ini
telah menganut berbagai sistem kepercayaan, baik yang bersumber dari Hindu,
Budha maupun kepercayaan lokal lainnya. Kehadiran Islam ditengah masyarakat
yang sebelumnya sudah memiliki nilai-nilai budaya dan adat-istiadat,
mengakibatkan terjadinya interaksi antar dua unsur budaya yang berbeda, yaitu
di satu sisi Islam dan di sisi lain budaya lokal.
Dalam
proses interaksi tersebut, secara umum Islam dapat terakomodasi oleh
nilai-nilai lokal, ini terbukti dengan diterimanya Islam di sebagian besar
wilayah Nusantara. Pada sisi lain, Islam yang datang di tengah masyarakat yang
telah memiliki kepercayaan serta berbagai sistem nilai, juga berusaha
mengakomodasi nilai-nilai lokal.[2]
Islam
mudah diterima oleh berbagai macam lingkungan di Nusantara, karena tidak
menghilangkan atau menghapuskan budaya peninggalan nenek moyang. Namun dengan
adanya keberagaman budaya-budaya tersebut. Islam sebagai agama rahmatan
lil ‘alamin diterima di masyarakat karena ajaran yang dibawa mudah
dimengerti yakni tentang aqidah, syari’ah dan akhlak. Islam melebur dapat
memperbaiki hal-hal yang dirasa dapat melemahkan akidah orang yang beriman,
contohnya tidak mengenal adanya kasta, melainkan semua manusia sama disisi
Allah SWT dan yang membedakan adalah amal dan perbuatannya.
Dalam
penyebarannya memiliki cara yang unik dan interaksi dan baik, sehingga
membedakan dengan agama-agama yang lainnya. Bahkan diterima oleh para raja-raja
yang berkuasa pada masa itu yang notabenenya menganut kepercayaan nenek moyang.
Diantara cara-cara penyebarannya ialah dengan perdagangan, pendidikan, budaya,
bahkan perkawinan dan bukan melalui cara-cara penjajahan.
Dari
deskripsi diatas maka penulis ingin mengkaji beberapa masalah, yaitu:
1. Bagaimana
pengertian dari imperialisme?
2. Apa
saja nilai yang terkandung dalam Islam?
3. Bagaimana
interaksi antara nilai Islam dan budaya lokal pada masa imperialisme di
Indonesia?
B.
Hasil
Pembahasan
1.
Pengertian Imperialisme
Imperialisme berasal dari kata Imperate
yang artinya memerintah. Secara umum imperialisme diartikan sebagai usaha
dan tindakan suatu negara untuk mengembangkan kekuasaan dalam bentuk pendudukan
dan pemerintahan secara langsung di negara lain. [3] Pada prinsipnya,
imperialisme adalah kecenderungan memperluas teritorium negara atau wilayah
kekuasaan tanpa batas-batas yang jelas dengan tujuan untuk kejayaan bagi
penguasa sendiri, kerajaan, serta bangsa dari penguasa yang bersangkutan.
Pencarian ruang hidup, nafsu kekuasaan
wilayah, kejayaan dan lain-lain, menjadi motivasinya. Sejarah dan bukti-bukti
arkeologi menunjukkan bahwa pelaku imperialisme paling tua adalah orang
(kerajaan) Assiria, Babilonia, dan kerajaan Mesir kuno (6000 SM) dan Tiongkok
(3000 SM). Setelah itu, banyak bermunculan negara (kerajaan-kerajaan) lain di
berbagai belahan dunia yang juga tidak ketinggalan turut mengembangkannya. [4]
Dalam fakta sejarah yang disampaikan,
terdapat beberapa periode. Periode-periode tersebut dibagi menjadi tiga fase,
yaitu:
a.
Periode yang dilakukan di tahap awal atau
yang biasa disebut sebagai imperialisme kuno.
Dalam imperialisme fase I, yang mereka
tuntut adalah pengakuan atas kejayaan dan kebesaran dari negeri taklukan, dan
harus tunduk berada dalam kekuasaannya. Di samping mendapatkan keuntungan
barang hasil rampasan dan upeti dari pihak yang ditaklukan, mereka juga akan di
segani oleh bangsa atau negara lain.
Praktik dari imperialisme dapat
dijumpai dalam sejarah kerajaan-kerajaan masa lalu. Sebagaimana fakta sejarah
menyatakan bahwa peperangan antarkerajaan adalah umum dan sering terjadi,
bahkan hanya permasalahan sepele atau masalah asmara yang dialami penguasanya.
Dari kebiasaan berperang itulah kemudian berkembang menjadi bentuk
imperialisme.
Walaupun dimotivasi oleh nafsu dan
keserakahan, masih ada pengendalian perilaku ddengan moral dan etika yang masih dijunjung tinggi sebagai kode etik
yang berlaku di hampir seluruh muka bumi. Pada umumnya, raja taklukan masih
diberi hak kekuasaan atas wilayahnya, rakyatnya tidak disentuh dan tetap
menjalankan aktivitasnya dan tidak campur tangan mengatur pemerintahan kerajaan
taklukannya.[5]
b.
Periode yang dilakukan oleh bangsa Eropa atau
biasa disebut sebagai imperialisme dari invasi Eropa.
Imperialisme yang dikembangkan oleh
bangsa Eropa dimulai abad 15 setelah terjadinya pelayaran besar yang mereka
lakukan. Pada awalnya, mereka berlaku sebagai pedagang. Namun, perdagangan
tersebut berubah menjadi perampokan. Di samping merampok pedagang-pedagang lain
dalam pelayaran, mereka juga memaksa para pedagang pribumi menjual semua barang
komoditinya kepada meraka. Tentu saja dengan harga yang jauh dibawah standar
dengan ancaman senjata.
Setelah itu, mereka menaklukan penguasa
wilayah-wilayah setempat dan kemudian mengendalikan sistem pemerintahannya.
Raja-raja yang berkuasa diganti oleh orang-orang yang “bisa diajak bekerja
sama” dan dipastikan sebagai kaki tangannya.
Rakyat dalam imperialisme fase I tidak
pernah disentuh dan diganggu aktivitasnya. Dalam imperialisme yang dipaktekkan
bangsa-bangsa Eropa ini, pada umumnya di semua negeri jajahan tanpa kecuali,
rakyat telah “diberdayakan”, dimanfaatkan tenaganya, baik sebagai tenaga
perkebunan, tenaga pembangunan dalam pembuatan jalan, jalur kereta api,
bendungan, bangunan, tenaga pertambangan, atau bahkan diperjualbelikan sebagai
budak belian.
Dengan demikian, dampak yang terjadi
oleh kehadiran imperialisme fase II telah mengakibatkan rakyat dalam
penderitaan yang teramat samgat. Jika sebelumnya rakyat telah terbelenggu dalam
pola yang menyesakkan yang dibuat oleh kaum feodalis, dengan kehadiran penjajah
sebagai aksi imperialis, kehidupan rakyat semakin terjerembab dalam lubang
penderitaan yang tiada ujung dan tak terperi. [6]
c.
Periode yang
terjadi setelah era kemerdekaan atau yang biasa disebut sebagai neoimperalisme.
Di fase ini, imperialisme sebenarnya merupakan lanjutan
dari periode sebelumnya karena dilakukan oleh bangsa yang sama. Meski bertambah
jumlah pelakunya, dan terhadap masyarakat yang sama pula. Imperialisme fase III
terjadi pada waktu setelah era kemerdekaan. Dengan demikian, situasi dan
kondisinya juga berbeda dari imperialisme yang sebelumnya mereka kembangkan.
Maka sistem, strategi, dan pola pelaksanaannya juga berbeda.
Dengan terjadinya perang dunia kedua, sebenarnya telah
membangkitkan dan membakar semangat baru bagi bangsa-bangsa terjajah untuk
melakukan perlawanan yang dimotori oleh orang-orang dari kalangan terdidiknya.
Setelah perang usai banyak negeri-negeri Timur yang memproklamasikan diri
menyatakan kemerdekaannya. Namun dalam faktanya tidak demikian.
Secara de juro, perpolitikan di negara-negara yang
sedang merdeka tersebut telah bebas dari kendali bangsa-bangsa asing dan tidak
ada lagi serdadu-serdadu asing yang meneror warga masyarakatnya. Namun, secara de
facto, tangan-tangan penjajah masih kuat mencengkeram, bahkan sejak
kemerdekaan itu diproklamasikan.
Banyak dalih dan cara untuk mengelabuhi dan menutup watak
imperialismenya, diantaranya dengan membentuk organisasi persemakmuran, membentuk dan membantu sistem
pelaksanaan pemerintahan, bekerja sama dalam proses pembangunan, mengelola
sumber daya alam, dan lain sebagainya, bahkan dengan menggunakan atau
mengatasnamakan lembaga dunia PBB beserta lembaga turunannya, seperti WTO, IMF
dan lainnya. Dalih dan cara tersebut hanyalah kamuflase untuk menutupi niat
busuk mereka dalam mengeruk kekayaan alam negeri-negeri Timur dan memeras darah
dan keringat rakyatnya.
Dengan kata lain, berbagai lembaga dunia tersebut menjadi
sarana yang melegalkan bentuk penjajahan yang dilakukan oleh kaum imperalis
terhadap negara-negara dunia ketiga. Guna melegalkan bentuk penjajahan baru
tersebut, dibuatlah peraturan hukum dunia yang tentu saja sangat sarat dengan
kepentingan mereka, di sisi lain menekan dan membelenggu masyarakat dunia
ketiga. [7]
2.
Nilai yang terkandung dalam Islam
Menurut Zakiyah Darajat,
mendefinisikan nilai adalah suatu perangkat keyakinan atau perasaan yang
diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola
pemikiran dan perasaan, keterikatan maupun perilaku.[8]
Kalau definisi nilai merupakan
suatu keyakinan atau identitas secara umum, maka penjabarannya dalam bentuk
formula, peraturan atau ketentuan pelakasanaannya disebut dengan norma. Dengan
kata lain, norma merupakan penjabaran dari Nilai sesuai dengan sifat dan tata
nilai. Adapun definisi nilai yang benar dan dapat diterima secara universal
menurut Linda dan Ricard Eyre adalah sesuatu yang menghasilkan perilaku dan
perilaku berdampak positif baik yang menjalankan maupun bagi orang lain.
Adapun dimensi kehidupan yang
mengandung nilai – nilai ideal Islam dapat dikategorikan kedalam tiga kategori,
yaitu :
a.
Dimensi yang mengandung
nilai yang meningkatkan kesejahteraan hidup manusia didunia.
b.
Dimensi yang mengandung
nilai yang mendorong manusia untuk meraih kehidupan di akhirat yang
membahagiakan.
c.
Dimensi yang mengandung
nilai yang dapat memadukan antara kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi.[9]
Adapun nilai – nilai Islam
apabila ditinjau dari sumbernya, maka digolongkan menjadi dua macam, yaitu :
a.
Nilai Ilahi adalah nilai
yang bersumber dari Al-Qur‟an dan hadits. Nilai ilahi dalam aspek teologi
(kaidah keimanan) tidak akan pernah mengalami perubahan, dan tidak
berkecenderungan untuk berubah atau mengikuti selera hawa nafsu manusia.
Sedangkan aspek alamiahnya dapat mengalami perubahan sesuai dengan zaman dan
lingkungannnya.
b.
Nilai Insani adalah
nilai yang tumbuh dan berkembang atas kesepakatan manusia. Nilai insani ini
akan terus berkembang ke arah yang lebih maju dan lebih tinggi. Nilai ini
bersumber dari ra’yu, adat istiadat dan kenyataan alam.[10]
Dan untuk memperjelas nilai –
nilai diatas maka akan dirinci mengenai nilai – nilai yang mendominasi jika
ditinjau dari segala sudut pandang, yaitu antara lain :
a.
Nilai Etika adalah nilai
yang mempunyai tolak ukur baik atu buruk. Sedangkan pandangan baik dan buruk
dalam nilai etika sangatlah beragam,. Hal ini karena sudut pandang tinjauannya
berbeda.
b.
Nilai Estetika ini mutlak dibutuhkan oleh manusia, karena
merupakan bagian hidup manusia yang tak terpisahkan, yang dapat membangkitkan
semangat baru dan gairah berjuang. Nilai ini merupakan fenomena sosial yang
lahir dari rangsangan cipta dalam rohani seseorang . rangsangan tersebut untuk
memberikan ekspresi dalam bentuk cipta dari suatu emosi, sehingga akan melahirkan
rasa yang disebut dengan indah.
c.
Nilai Logika merupakan nilai yang banyak mencakup
poengetahuan, penelitian, keputusan, penuturan, pembahasan, teori atau cerita.
Nilai ini bermuara pada pencarian kebenaran.
d.
Nilai religi merupakan
tingkatan integritas kepribadian yang mencapai tingkat budi, juga sifatnya
mutlak kebenarannya, universal, dan suci.[11]
3.
Interaksi Nilai-nilai Islam dan Budaya
Perjalanan
sejarah manusia, baik yang menyangkut soal sistem keyakinan, kehidupan sosial
budaya, ekonomi, politik mapun yang lainnya tidak bisa lepas dari kondisi
tatanan geografis dan sosial budaya yang mengitarinya ikut membentuk. Proses
ajaran Islam berakulturasi dengan tradisi lokal Nusantara bisa dikatakan
berjalan dengan baik. Dalam proses perkembangan selanjutnya, keduanya berjalan
beriringan. Hal ini disebabkan karena ajaran Islam memang diperuntukkan kepada
semua umat dan golongan, sehingga terbuka untuk semuanya. Kemudian, bagaimana
pengikut Islam dapat mempelajari dan memahami ajaran Islam dengan baik dan
benar. Di sinilah pentingnya agen akulturasi memainkan peranan pentingnya,
karena Islam berasal dari Jazirah Arab sampai ke Nusantara ini tidak lepas dari
peran tokoh akulturasi tersebut.
Minimnya
konflik atas penyebaran Islam di Nusantara didukung oleh beberapa foktor
diantaranya: pertama, karena watak Islam itu sendiri yang menebarkan kedamaian
dan cinta kasih kepada sesama tanpa melihat latar belakang, ras, suku agama,
bahasa, dan kebudayaan. Islam juga menghindari terjadinya kekerasan dan paksaan
dalam dakwahnya. Sehingga, di manapun Islam disebarkan akan mudah diterima oleh
masyarakat. Hal ini dibuktikan dari tidak adanya bukti sejarah yang
menceritakan telah terjadi pertentangan dan bentrokan antara Islam dan
masyarakat yang didakwahi. Kedua, Islam tidak menghapus seluruh tradisi lokal
yang menjadi ciri khas sustu bangsa di saat Islam itu datang, akan tetapi
justru tradisi lokal itu dibiarkan tetap berkembang sejauh tradisi tersebut
tidak menyangkut kemusyrikan atau yang berhubungan dengan ketauhidan. Atau dengan
artian kata, Islam memberi keleluasaan untuk mengekspresikan kebudayaan suatu
bangsa tanpa harus dihapus sama sekali. Contoh yang bisa dicermati adalah
tradisi Islam yang membolehkan poligami sampai mempunyai empat orang istri,
merupakan adaptasi ajaran Islam yang mencoba membatasi tradisi lokal Arab
jahiliyah yang memperbolehkan mempunyai istri tanpa batasan jumlahnya. Ketiga,
Islam dapat beradaptasi dengan segala bentuk dan warna kebudayaan maupun di
bumi ini. Kemampuan Islam dalam bersosialisasi dengan segala macam perbedaan
yang ada memunculkan Islam dengan varian tempat Islam itu muncul dan
berkembang. Seperti adanya varian Islam Jawa, Islam Sasak, Islam Bugis, Islam
Banjar, Islam Lombok dan Islam Buton dengan menonjolkan karakternya masing-masing
dan keunikannya sendiri.
Kultur
masyarakat Nusantara cukup familiar dengan sesuatu yang baru dan membawa
perubahan ke arah kebaikan tanpa harus bersikap frontal dan menentangnya.
Datangnya Islam membawa keseragaman umat manusia dalam satu ikatan keyakinan
yaitu bendera Islam dan terdapat pula keragaman yaitu perbedaan kultur orang
yang mendakwahkannya dengan yang menerima dakwah. Ciri khas Persia sebagai
suatu wilayah yang dilewati Islam yang menuju Nusantara banyak memiliki
kesamaan dengan unsur Hindu-Budha yang telah menjadi agama yang dianut oleh
sebagian besar penduduk Nusantara sebelum Islam datang. Sebagaimana diketahui
bahwa agama Hindu- Budha juga berasal dari kawasan Asia Selatan yang dilewati
oleh jalur kedatangan Islam dari sumber aslinya yaitu Arab. Sehingga tidak
terdapat kesulitan yang berarti dengan tradisi agama sebelumnya. Namun
demikian, proses Parsianisasi tidak dapat dipukul rata sepenuhnya pada proses
Islamisasi di kawasan Nusantara dan umumnya Asia Tenggara, terutama pada pola
dan struktur lembaga-lembaga resmi dan masyarakat serta proses Islamisasi
melalui ekspansi militer. Namun proses Islamisasi menemui masyarakat yang telah
terbentuk secara mapan dengan suatu pola tertentu yaitu pola Melayu-Hindu yang
menjadi karakteristiknya sendiri dan mendominasi sebelumnya.
Uraian
di atas menggambarkan sudah terbukti di nusantara, bahwa tradisi Jawa, Sunda,
batak, Bugis dan juga termasuk melayu sebagian masih tetap eksis seperti
sediakala sebelum datangnya Islam dan berkembang. Namun masih tetap ada yang
tidak mampu berubah sepenuhnya walaupun Islam datang meluruskannya. Bila
dilihat lebih jauh yang tampak adalah sesungguhnya di luar dibalut dengan kulit
Islam, sementara di dalamnya masih tetap kentara semangat kepercayaan pada
kekuatan magis sesuatu benda dan tuah serta keramatan suatu tempat, kepercayaan
yang seperti ini mereka yakini karena agar mereka selamat dan merasa aman dalam
melakukan setiap urusan dan masalah kehidupan lalu memberikan sesajian kepada
yang mereka anggap sakral, keramat serta gaib tersebut.[12]
Sebagai
contoh hasil interaksi antara nilai agama dan budaya lokal yang menghasilkan
sebuah akulturasi sebagai berikut:
a.
Akulturasi Islam dan
Budaya Lokal dalam Acara Adat
Masuknya nilai-nilai Islami
dalam acara adat, dapat dilihat dari praktik ritual dalam budaya populer di
Indonesia. Salah satunya digambarkan oleh Kuntowijoyo dalam Upacara Pangiwahan
di Jawa Barat. Upacara ini dimaksudkan agar manusia dapat menjadi wiwoho
(mulia). Berangkat dari pemahaman ini, masyarakat harus memuliakan kelahiran,
perkawinan, kematian, dan sebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai
kemuliaan hidup manusia ini jelas-jelas diwarnai oleh konsep ajaran Islam yang
memandang manusia sebagai makhluk yang mulia.
Makna filosofis dalam acara dan
upacara adat disisipi dengan nilai-nilai Islami. Misalnya, persembahan sesajen
untuk memohon keselamatan dari Yang Maha Kuasa pada kelompok masyarakat
tertentu diganti menjadi acara selamatan berupa doa dengan menyiapkan makanan
yang disiapkan untuk para hadirin. Masyarakat Bugis menyebutnya mabbaca
doang salama.
b.
Akulturasi Islam dan
Budaya Lokal dalam Seni dan Konstruksi Bangunan
1)
Seni
a)
Kaligrafi menjadi
kesenian arab yang menghiasi dinding masjid di Indonesia. Bahkan dalam
perkembangannya kaligrafi telah menghiasi dinding rumah dan madrasah.
b)
Wayang dan gamelang
adalah satu paket yang lengkap, antara media bermain beserta alat musiknya.
Keduanya merupakan kebudayaan asli dari Indonesia yang berfungsi untuk
mempermudah penyebaran Islam.
c)
Tari Seudati berasal
dari Aceh, nama lain tarian ini adalah tari Saman. Asal kata Seudati adalah
Syaidati yang berarti permainan orang-orang besar, disebut tari Saman karena
mula-mula dimainkan delapan orang dengan lagu tertentu berupa shalawat.
2)
Konstruksi bangunan
Akulturasi dalam konstruksi
bangunan dapat dilihat dari model masjid di Indonesia yang beragam dan
mempunyai bentuk khas. Misalnya masjid Demak, model atau bentuk bangunannya
menyerupai pendopo bujur sangkar. Selain itu atap masjid berbentuk tumpang
dengan jumlah ganjil tiga yang mirip pura tempat peribadatan Hindu sebagai
kepercayaan masyarakat lokal sebelum datangnya Islam. Pola arsitektur masjid
ini tidak dikenal di kawasan dunia muslim lainnya.
c.
Akulturasi Islam dan Budaya
Lokal dalam Konsepsi Sosial
Akulturasi Islam dan budaya
lokal juga tergambar dalam konsepsi sosial masyarakat. Hal ini dapat dilihat
pada praktik muamalah dan masuknya syari’at sebagai falsafah hidup masyarakat
lokal.
Sulawesi misalnya, Mattulada
mengungkapkan bahwa dalam aspek Pangadereng (Bugis) atau Pangngadakkang (Makassar),
dikenal 5 lima unsur pokok yang dikembangkan masyarakat Bugis-Makassar dalam
berinteraksi dan berdinamika, yaitu ade’, bicara, rapang, wari’, dan sara’.
Kelima unsur tersebut merupakan tata nilai pergaulan bagi masyarakat
Bugis-Makassar, terutama unsur pokok kelima yang masuk terakhir, yaitu sara’.
Hal ini menggambarkan dan menandakan masuknya Islam ke dalam tata kehidupan
masyarakat Sulawesi Selatan.
Berdasarkan lingkup yang lebih
luas, syariat telah masuk dalam regulasi nasional. Ini terbukti dengan dilindunginya
pelaksanaan syariat. Bahkan ada syariat yang diundangkan, seperti zakat dan
nikah. [13]
Pada akhir abad XIX, terutama terdapatlah tradisi-tradisi agama yang secara
sederhana dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, di daerah
pedesaan terdapat pola-pola tradisi agama yang berinti kepercayaan animistis
dan dinamistis, tetapi telah mengalami proses perubahan yang sikretis dengan
unsur-unsur tradisi hindu dan kemudian beralih menjadi tradisi Islam. Kedua, di dalam kota,
dilingkungan kaum ningrat di bekas-bekas kota pusat Kraton Jawa dan Kaum Priyai
di kota-kota besar dan kecil, terdapatlah pola kebudayaan yang berinti
kebudayaan sinkretis agama hindu-Jawa, tetapi telah memberi tempat kepada
unsur-unsur tradisi Islam sebagai bungkusnya. Ketiga, di daerah
pedesaan, dilingkungan masyarakat pesantren dan kota-kota di masyarakat kauman,
yang berpusat di masjid, terdapat pola tradisi agama Islam yang lebih kuat dan
lebih murni yang di anut oleh orang-orang yang lebih taat menjalankan perintah
agama, dan tradisi inilah yang kita kenal dengan nama tradisi santri. [14]
Bagi
masyarakat Nusantara, dalam hidup penuh dengan upacara, baik upacara yang
berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari keberadaannya dalam perut
ibu, lahir, kemudian kanak-kanak, hingga remaja sampai dewasa sampai pada
kemtiannya. Atau juga upacara yang berkaitan dengan aktifitas sehari-hari.
Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara yang disebut dengan kenduren
atau slametan. Dalam uapacara slametan ini yang pokok adalah pembacaan
doa yang dipimpin oleh orang yang dipandang memiliki pengetahuan tentang Islam.
Slametan adalah suatu upacara makanan yang telah diberi doa sebelum
dibagi-bagikan. Slametan itu sangat erat hubungannya dengan kepercayaan kepada
unsur-unsur kekuatan sakti maupun makhluk halus. Sebab hampi semua slametan
hampir ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup.
Hubungan
antara budaya Nusantara dan Islam dalam aspek kepercayaan dan ritual di atas
menunjukkan secara jelas bahwa memang terjadi dalam kehidupan keberagamaan
masyarakat Nusantara suatu upaya untuk mengakomodasikan antara nilai-nilai
Islam dengan budaya Jawa pra Islam. Upaya itu telah dilakukan sejak Islam mulai
disebarkan oleh para mubaligh yang tergabung dalam Walisongo dan dilanjutkan
oleh para orang-orang keraton serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari
oleh masyarakat Nusantara. Upaya ini masih terus berproses hingga dewasa ini.
Sebagian nilai-nilai Islam itu telah menjadi bagian dari budaya Nusantara
khususnya pada tanah Jawa. Kendati demikian warisan nilai-nilai budaya pra
Islam masih tampak meski dalam wadah yang terlihat Islami.[15]
C.
Kesimpulan
Imperialisme berasal dari kata Imperate
yang artinya memerintah. Secara umum imperialisme diartikan sebagai usaha
dan tindakan suatu negara untuk mengembangkan kekuasaan dalam bentuk pendudukan
dan pemerintahan secara langsung di negara lain.
Dalam fakta sejarah yang disampaikan,
terdapat beberapa periode. Periode-periode tersebut dibagi menjadi tiga fase,
yaitu:
1.
Periode yang dilakukan di tahap awal atau
yang biasa disebut sebagai imperialisme kuno.
2.
Periode yang
dilakukan oleh bangsa Eropa atau biasa disebut sebagai imperialisme dari invasi
Eropa.
3.
Periode yang
terjadi setelah era kemerdekaan atau yang biasa disebut sebagai neoimperalisme.
Menurut Zakiyah Darajat,
mendefinisikan nilai adalah suatu perangkat keyakinan atau perasaan yang
diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola
pemikiran dan perasaan, keterikatan maupun perilaku.
Adapun dimensi kehidupan yang mengandung nilai – nilai ideal
Islam dapat dikategorikan kedalam tiga kategori, yaitu:
1.
Dimensi yang mengandung
nilai yang meningkatkan kesejahteraan hidup manusia didunia.
2.
Dimensi yang mengandung
nilai yang mendorong manusia untuk meraih kehidupan di akhirat yang
membahagiakan.
3.
Dimensi yang mengandung
nilai yang dapat memadukan antara kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi.
Adapun nilai – nilai Islam
apabila ditinjau dari sumbernya, maka digolongkan menjadi dua macam, yaitu:
1.
Nilai Ilahi
2.
Nilai Insani
Nilai –
nilai yang mendominasi jika ditinjau dari segala sudut pandang, yaitu antara
lain :
1.
Nilai Etika
2.
Nilai Estetika
3.
Nilai Logika
4.
Nilai Religi.
Sebagai
contoh hasil interaksi antara nilai agama dan budaya lokal yang menghasilkan
sebuah akulturasi sebagai berikut:
1.
Akulturasi Islam dan
Budaya Lokal dalam Acara Adat.
2.
Akulturasi Islam dan
Budaya Lokal dalam Seni dan Konstruksi Bangunan.
3.
Akulturasi Islam dan
Budaya Lokal dalam Konsepsi Sosial.
D.
Refrensi
Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1993.
Burga, Muhammad Alqadri.
“Kajian Kritis Tentang Akulturasi Islam dan Buudaya Lokal”. Zawiyah: Jurnal
Pemikiran Islam. Vol 5, no (1). 2019.
Darajat, Zakiah. Dasar-dasar
Agama Islam. Jakarta:
Bulan Bintang. 1984.
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. 2002.
Muhaimin, Abd Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Bumi Aksara. 1991.
Mutia. "Akulturasi
Nilai-Nilai Budaya Lokal dan Keagamaan dan Pengaruhnya terhadap Perilaku-Perilaku
Sosial". Fokus:
Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan. Vol.3. No. (02). 2018.
Muya, Rudiaji. Feodalisme dan Imperialisme di Era
Global. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 2012.
Sardiman. Sejarah SMA Kelas XI Program Ilmu Sosial. Penerbit
Yudhistira. 2008.
Sofwan, Ridin. Islam
dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta:
Gama Media. 2000.
Syamsuddin,
Muh. “Interaksi Antara Islam dengan Kebudayaan Jawa”. Jurnal Religi. Vol
2. no (1). 2004.
Zuhri, Saifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam dan
Perkembangannya di Indonesia. Bandung:
Al-Ma'arif. 1979.
[1] Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan
Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: Al-Ma'arif, 1979), 204-205.
[2] Ridin Sofwan, Islam dan Kebudayaan Jawa,
(Yogyakarta: Gama Media, 2000), 137.
[3] Sardiman, Sejarah SMA Kelas XI Program Ilmu Sosial, (Penerbit
Yudhistira, 2008), 145.
[4] Rudiaji Muya, Feodalisme dan Imperialisme di Era
Global, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2012), 149.
[5] Rudiaji Muya, Feodalisme dan Imperialisme di Era Global,
(Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2012), 151-155.
[6] Rudiaji Muya, Feodalisme dan Imperialisme di Era Global, (Jakarta:
PT Elex Media Komputindo, 2012), 155-157.
[7] Rudiaji Muya, Feodalisme dan Imperialisme di Era Global, (Jakarta:
PT Elex Media Komputindo, 2012), 158-160.
[8] Zakiah Darajat, Dasar-dasar Agama
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 260.
[9] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1993), 120.
[10] Abd. Mujib Muhaimin,
Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Bumi Aksara, 1991), 111.
[11] Abd. Mujib Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam,
(Bandung: Bumi Aksara, 1991), 114.
[12] Mutia, "Akulturasi Nilai-Nilai Budaya Lokal dan Keagamaan dan
Pengaruhnya terhadap Perilaku-Perilaku Sosial", Fokus : Jurnal Kajian
Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol.3, No. 02, (2018), 191-193.
[13] Muhammad Alqadri Burga, “Kajian Kritis
Tentang Akulturasi Islam dan Buudaya Lokal”, Zawiyah: Jurnal Pemikiran
Islam, Vol 5, no. 1 (2019), 5-6.
[14] Muh. Syamsuddin, “Interaksi Antara
Islam dengan Kebudayaan Jawa”, Jurnal Religi, Vol 2, no. 1 (2004), 79-80.
[15] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2002), 347.
Berikan Komentar untuk "INTERAKSI NILAI ISLAM dan BUDAYA LOKAL PADA MASA IMPERIALISME di INDONESIA"
Posting Komentar