Strategi Dakwah Kultural Walisongo dalam Menyebarkan Ajaran Agama Islam di Jawa

Strategi Dakwah Kultural Walisongo dalam Menyebarkan Ajaran Agama Islam di Jawa

Di susun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Islam dan Budaya Lokal

Dosen Pengampu Miftahul Huda, S.S., M. A.

  

Oleh:

   Dhika Khoirul Wicaksono    (1710110144)

 Shofiyul Judil Faiz                 (1710110147)

Muhammad Hilal Haidar      (1710110151)

 Maya Novitasari                    (1710110156)

 

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KUDUS

2020/2021





ABSTRAK

Strategi Dakwah Kultural Walisongo dalam Menyebarkan Ajaran Agama Islam di Jawa

Oleh:

Kelompok IV

Berdakwah merupakan tugas setiap muslim sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, “Ballighu ‘anni walau ayatan”yang artinya sampaikan apa yang bersumber dariku walaupun satu ayat. Itu sebabnya, tidak peduli apakah muslim berkedudukan sebagai pedagang, tukang, petani, nelayan dan lain sebagainya, ia memiliki kewajiban utama untuk menyampaikan kebenaran Islam kepada siapa saja dan dimana saja.Ajaran Islam mulai berkembang sangat pesat dan diterima oleh masyarakat karena ajarannya yang mudah untuk dipahami sangat mudah dimengerti. Tentunya bukan hal yang sangat mudah, Penyebaran agama Islam melalui perdagangan, pendidikan serta budaya hal tersebut memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa diterima didalam masyarakat. Bagi masyarakat muslim Indonesia, sebutan walisongo memiliki makna khusus yang kemudian di hubungkan dengan keberadaan tokoh-tokoh keramat di Jawa, yang berperan penting dalam usaha penyebaran dan perkembangan Islam pada abad ke 15 dan abad ke 16 Masehi. Keberadaan tokoh Wali Songo sebagai guru rohani yang sarat dengan hal-hal mistis, yang diliputi certa-ceruta bersifat adiduniawi, lebih mengedepankan dari pada hal lain karena konsep dakwah yang diterapkan oleh Wali Songo lebih mengedepankan ajaran tasawuf.Kisahnya yang cukup menarik serta memikat dan banyak sekali pelajaran yang didapat dalam memperjuangan agama Islam. Serta menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Kehadirannya mampu diterima oleh lapisan masyarakat mulai dari raja hingga masyarakat menengah kebawah.

 

Kata Kunci: Walisongo, Islam Nusantara

Preaching is the duty of every Muslim in accordance with the words of the Prophet Muhammad, "Ballighu‘ anni though ayatan "which means to convey what comes from me even though one verse. That is why, no matter whether Muslims are traders, artisans, farmers, fishermen and so on, they have the primary obligation to convey the truth of Islam to anyone and anywhere.The teachings of Islam began to develop very rapidly and were accepted by the community because its teachings were easy to understand and very easy to understand. Certainly not a very easy thing, the spread of Islam through trade, education and culture requires a long time to be accepted in society.For the Indonesian Muslim community, the name walisongo has a special meaning which is then connected with the presence of sacred figures in Java, who played an important role in the spread and development of Islam in the 15th and 16th centuries AD.The existence of the Wali Songo figure as a spiritual teacher who is loaded with mystical matters, which is covered by an adidunia, is more prioritized than anything else because the Da'wah concept applied by Wali Songo prioritizes the teachings of Sufism.His story is quite interesting and alluring and a lot of lessons learned in the struggle for the Islamic religion. As well as being a matter of pride. Its presence is able to be accepted by the people from the king to the middle to lower classes.

 

Keywords: Walisongo, Nusantara Islam

A.     Pendahuluan

Sejarah masuknya Islam ke wilayah Nusantara sudah berlangsung demikian lama, sebagian berpendapat bahwa Islam masuk pada abad ke 7 M yang dating langsung dari Arab. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13 M da nada juga yang berpendapat bahwa Islam masuk pada sekitar abad ke 9 M atau ke 11 M, dari beberapa perbedaan pendapat tersebut ada berasal dari pendekatan historis semuanya, hal tersebut didasari dari beberapa bukti-bukti sejarah serta penelitian para sejarawan yang menggunakan pendekatan metodenya masing-masing.

Berdasarakan beberapa buku dan keterangan sumber referensi sejarah, bahwa Islam mulai berkembang di Nusantara sekitar abad ke-13 M. Hal tersebut tak lepas dari  peran tokoh serta ulama yang hidup pada saat itu, dan diantara tokoh yang sangat berjasa dalam proses Islamisasi di Nusantara terutama di tanah Jawa adalah “ Walisongo”. Peran Walisongo dalam proses Islamisasi di tanah Jawa sangat besar. Tokoh Walisongo yang begitu dekat dikalangan masyarakat muslim kultural  Jawa sangat mereka hormati. Hal ini karena ajaran-ajaran dan dakwahnya yang unik serta sosoknya yang menjadi teladan serta ramah terhadap masyarakat Jawa sehingga dengan mudah Islam menyebar ke seluruh wilayah Nusantara.

Walisongo menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa yang terbagi dari Surabaya, Lamongan Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Keberhasilan Islamisasi Jawa merupakan hasil perjuangan dan kerja keras Walisongo. Proses Islamisasi berjalan dengan damai, baik politik maupun kultural, meskipun terdapat konflik itupun sangat kecil sehingga tidak mengesankan sebagai perang maupun kekerasan ataupun pemaksaan budaya. Penduduk Jawa menganut dengan suka rela. Walisongo menerapkan metode dakwah yang lentur atau baik sehingga dapat diterima baik oleh masyarakat jawa. Kehadiran para Wali ditengah-tengah Pulau Jawa tidak dianggap sebagai ancaman.

Para Wali menyebarkan agama Islam dengan menggunakan pendekatan budaya dengan cara akuluturasi seni budaya lokal yang dikemas dengan Islam seperti pewayangan, tembang Jawa (lagu Jawa), gamelan (music tradisional Jawa), upacara-upacara adat yang digabungkan dengan Islam dan dengan kepiawaan para Wali menggunakan unsur-unsur lama (Hindu-Buddha) sebagai media dakwah mereka dan sedikit demi sedikit memasukan nilai-nilai ajaran agama islam kedalam unsur tersebut atau dapat disebut metode sinkretisme sebagai unsur aliran atau paham sehingga yang bentuk abstrak yang berbeda membentuk keselarasan. Dengan berkembang pesatnya Islam pada masa Walisongo tersebut maka kita akan mencoba membahasnya dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut:

1.         Apa yang dimaksud dengan Walisongo?

2.         Siapa sajakah Tokoh-tokoh Walisongo?

3.         Bagaimana strategi dakwah kultural Walisongo dalam menyebarkan Islam di Jawa?

 

B.     Hasil dan Pembahasan

1.     Pengertian Walisongo

Secara etimologis isitilah walisongo berasal dari dua kata “wali” dan “songo”. Kata wali itu sendiri berasalah dari bahasa Arab yang artinya “dekat” atau “kerabat” atau “teman”. Kata “wali” menurut istilah, merupakan sebutan bagi orang-orang Islam yang dianggap keramat, penyebar agama Islam, mereka dianggap “kekasih Allah”, orang-orang yang dekat dengan Allah, dikaruniai dengan tenaga gaib, mempunyai kekuatan-kekuatan batin yang sangat berlebih, mempunyai ilmu yang sangat tinggi, dan sakti Berjaya kewijayaan. [1]

Kata yang mendapat perhatian cukup intens dari istilah Walisongo adalah kata “songo” itu sendiri. Ada yang berasumsi bahwa kata songo juga berasal dari bahasa Arab, yakni tsana yang maknanya sama dengan kata mabmud artinya terpuji dan mulia. Sebagian lain ada yang mengatakan ‘sana’ yang berarti tempat, daerah atau wilayah. Sementara yang lain ada yang mengatakan, “songo” berasal dari bahasa Jawa yang artinya menunjukkan sebuah bilangan Sembilan, yakni beberapa wali yang terkenal itu berjumlah Sembilan orang. Adapun nama-nama Sembilan Walisongo yang umunya dikenal adalah Sunan Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, Raden Rahmat atau Sunan Ampel, Sunana Giri atau yang dikenal sebagai Raden Paku, Syarif Hidayatullah (dikenal dengan Fatahillah) atau Sunan Gunung Jati, Raden Umar Said atau Sunan Muria, Syekh Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus, Raden Qasim atau Sunan Drajat,  Raden Mas Syahid atau Sunan Kalijaga, Raden Ibrahim atau Sunan Bonang. [2]

2.     Tokoh-Tokoh Walisongo

Gelar sunan atau susuhunan yang dipungut dari kata Suhun-kasuhun-sinuhun, yang dalam Bahasa Jawa Kuno bisa berarti ‘menjunjung, menghormati, meletakkan kaki seseorang di atas kepala’, lazimnya digunakan untuk gelar menyebut guru suci (mursyid thariqah dalam Islam) yang punya kewenangan melakukan upacara penyucian yang disebut diksa (baiat dalamthariqah) dalam agama Hindu.[3]

Adapun dalam tulisan ini walisongo yang dimaksud adalah walisongo yang sampai saat ini namanyamelekat di masyarakat yang berjumlah sembilan yakni antara lain:

a.    Maulana Malik Ibrahim

Merupakan sesepuh para walisanga, memiliki beberapa sebutan yakni sunan Gresik, Syaikh Maghribi beliau wafat di kota Gresik Jawa Timur ynag kemudian merujuk pada angka 882 H / 1419 H, yang kemudian beliau ditempatkan sebagai salah seorang tokoh yang dianggap penyebar Islam tertua di Jawa.[4]

b.    Sunan Ampel

Sunan Ampel nama aslinya adalah Sayyid Ali Rahmatullah, panggilan akrabnya raden rahmat. Ayahnya bernama Syeh Ibrahim As-Samarqandi dan ibunya bernama Candrawulan putri raja Campa. Beliau diperkirakan lahir pada 1420, karena ketika berada di Palembang, pada tahun 1440, sebuah sumber sejarah menyebutkan berusia 20 tahun ia mulai datang ke nusantara.[5]

c.    Sunan Giri

Sunan giri adalah raja sekaligus guru suci (pandhita ratu) yang memiliki peran penting dalam pengembangan dakwah Islam di Nusantara. Peranan Sunan Giri dalam penyebaran agama Islam adalah melalui jalur pendidikan, politik, dan kebudayaan. Kedudukan Sunan Giri sebagai kepala wilayah suatu kekuasaan politis, tampak dari gelar Prabu Satmata yang disandang Raden Paku. Gelar prabu menunjukan pada kekuasaan politis sedangkan nama Satmata adalah salah satu nama Dewa Syiwa, yaitu nama yang menandai sebuah kekuasaan bersifat Syiwais, ajaran yang paling banyak dianut masyarakat Majapahit masa itu.[6]

d.    Sunan Bonang

Adapun nama asli beliau adalah Maulana Mahdum Ibrahim lahir di Bonang, daerah Tuban pada tahun 1465 M. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering di sebut Nyai Ageng Manila. Dalam berdakwah menggunakan alat kesenian daerah berupa Bonang. Bonang adalah sejening kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul denjgan kayu lunak maka timbulan suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat. Lebih-lebih apabila yang memainkan Sunan Bonang sendiri karena beliau mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya.

Tembang -tembang yang diajarkan Sunan Bonang adalah tembang yangberisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan Sennag hati bukan dengan paksaan. Adapun diantara tembang yang terkenal adalah “Tombo Ati “.[7]

e.    Sunan Drajat

Nama aslinya adalah Raden Qasim atau Syarifudin . diperkiran lahir pada tahun 1470 Masehi. Sunan Drajat adalah putra Bungsu Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila. Nama aslinya adalah Raden Qasim atau Syarifudin. Diperkiran lahir pada tahun 1470 Masehi. Sunan Drajat adlaah putra Bungsu Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila.Dakwah yang dilakukan oleh Sunan Drajat karena beliau dikenal sebagai penyebar agama Islam yang berjiwa sosial tinggi dan sangat memerhatikan nasib kaum fakir miskin serta lebih mengutamakan pencapaian kesejahteraan sosial masyarakat. Secara umum ajaran Sunan Drajat dalam menyebarkan dakwah agama Islam dikenal masyarakat sebagai pepali pintu (tujuh dasar ajaran, yang mencakup tujuh falsafah yang dijadikan pijakan dalam kehidupan.

f.     Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati adalah Putra Sultan Hud yang berkuasa di Wilayah Bani Israil, yang masuk wialayah Mesir. Sunan Gunung Jati dikenal sebagai tokoh Wali songo yang menurunkan sultan-sultan Banten dan Cirebon.Strategi dakwah yang dijalankan Sunan Gunung Jati adalah memperkuat kedudukan politis sekaligus memperluas hubungan dengantokoh-tokoh yang berpengaruh di Cirebon, Banten, dan Demak melalui pernikahan. Selain itu, Sunan Gunung Jati menggalang kekuatan dengan menghimpun orang-orang yang dikenal sebagai tokoh yang memiliki kesaktian.

g.    Sunan Kudus

Merupakan putradari Sunan Ngudung. Dikenal sebagai walisanga yang sangat tegas dalam menegakan syariat Islam, namun beliau tetap berdakwah dengan cara mendekati penduduk untuk memahai dan terjun langsung dengan ssegala kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat.[8]

h.    Sunan Muria

Merupakan putra dari Sunan Kalijaga dan merupakan walisanga yang sangat muda umurnya.Nama aslinya adalah Raden Umar Said. Beliau berdakwah dengan cara lewat budaya. Menciptakan beberapa syair sinom dan kinanti yang berisi ajaran tauhid.[9]

i.      Sunan Kalijaga Nama Asli Sunan Kalijaga adalah Raden Syahid. Selain Raden Sahid, Sunan Kalijaga di kenal dengan sejumlah nama lain yaitu: Syaikh Melaya, Lokajaya, Raden Abdurahma, Pangeran Tuban dan Ki Dalang Sida Brangti. Beliau merupakan putra Tumenggung Wilaktikta Bupati dari Tuban.[10]

Gerakan dakwah Sunan Kalijaga adalah seperti wali-wali lain, dalam berdakwah, sunan kalijaga sering mengenalkan Islam kepada penduduk lewat pertunjukan wayang yang sangat digemari oleh masyarakat yang masih menganut kepercayaan agama lama. Dengan kemampuan yang menajubkan sebagai dalang yang ahli memainkan wayang. Sunan Kalijaga selama berdakwah di Jawa bagian barat dikenal penduduk sebagai dalang yang menggunakan berbagai nama samaran.[11]

Selain wayang Sunan Kalijaga menyempurnakan nya dengan tembang-tembang gubahan Sunan Kalijaga antara lain Kidung Rumeksa ing Wengi dan yang sederhana tetapi memuat ajaran spiritual, yang juga banyak dihafal masyarakat Jawa adalah tembang lir-ilir sebagi berikut:[12]

Lir -ilirlir -ilir tandure wissumulir

sing ijo royo-royo

tak sengguh penganten anyar

cah angon cah angon

poenekna blimbing kuwi

lunyu-lunyu penekna

aknggo masuh dodotiro

dodotiro dodotiro

kumitir bedah ing pinggir

dondomana jlumatana

kanggo seba mengko sore

mumpung padhang rembulane

mumpung jembar kalangane

yo surako surak hore

Selain itu Sunan Kalijaga diketahu sebagai perancang alat-alat pertanian dan juga dikenal sebagai desainer pakaian yaitu pakaian jawa yang modelnya garis-garis dan blangkon seperti yang digunakan oleh Sunan Kalijaga. Makamnya terletak di tengah kompleks pemakana Desa Kadilangu yang dilingkari dinding dengan pintu gerbang makam. Area makam Sunan Kalijaga masih dalam Kota Demak kira-kira berjarak sekitar 3 km dari Masjid Agung Demak.[13]

 

3.     Stretegi Dakwah Walisongo

a.      Strategi Dakwah Walisongo

Strategi dapat diartikan sebagai tata cara dan usaha-usaha untuk menguasaidan mendayagunakan segala sumber daya untuk mencapai tujuan.[14]  Dengan  demikian,  strategi  dakwah  yang dilakukan oleh Walisongo itu bisa diartikan menjadi  segala  cara  yang  ditempuh  oleh para wali untuk mengajak manusia ke jalan Allah dengan memanfaatkan segala sumber daya  yang  dimiliki.  Beberapa strategi Walisongo dalam pelaksanaan dakwah dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut:

Pertama, Pembagian Wilayah Dakwah. Para Walisongo dalam melakukan aktivitas dakwahnya antara lain sangat memperhitungkan wilayah strategis. Beranjak  dari  sinilah, para  Walisongo yang dikenal  jumlahnya  ada  sembilan  orang tersebut  melakukan pemilihan  wilayah dakwahnya  tidak  sembarangan.  Penentuan tempat dakwahnya dipertimbangkan pula dengan faktor geostrategi yang sesuai dengan kondisi zamannya. Kalau  kita  perhatikan  dari kesembilan  wali  dalam  pembagian  wilayah kerjanya  ternyata  mempunyai  dasar pertimbangan  geostrategis  yang  mapan sekali.  Kesembilan wali tersebut membagi kerja dengan rasio 5:3:1.[15] Jawa Timur mendapat perhatian besar dari para Walisongo.  Di sini terdapat lima Wali, dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda.  Maulana Malik Ibrahim, sebagai wali perintis, mengambil wilayah dakwahnya di Gresik.  Setelah Malik Ibrahim wafat, wilayah ini dikuasai oleh Sunan Giri.  Sunan  Ampel  mengambil posisi  dakwah  wilayahnya  di  Surabaya, Sunan  Bonang  sedikit  ke  Utara  di Tuban. Sedangkan Sunan Drajat di Sedayu. Berkumpulnya kelima wali  ini  di  Jawa Timur adalah karena kekuasaan politik saat Strategi                                   itu berpusat di wilayah ini. Kerajaan Kediri, di Kediri dan Majapahit di Mojokerto. Di  Jawa  Tengah  para  wali mengambil  posisi  di  Demak,  Kudus,  dan Muria.  Sasaran dakwah para wali yang ada di Jawa Tengah tentu berbeda dengan yang ada di Jawa Timur.  Di Jawa  Tengah dapat dikatakan  bahwa  pusat  kekuasaan  politik Hindu  dan  Budha  sudah  tidak  berperan lagi.  Hanya  para  wali  melihat  realiatas masyarakat  yang  masih  dipengaruhi  oleh budaya  yang  bersumber  dari  ajaran  Hidu dan  Budha.  Saat  itu  para  Wali  mengakui seni  sebagai  media  komunikasi  yang mempunyai pengaruh  besar  terhadap  pola-pikir masyarakat. Oleh karena itu, seni dan budaya  yang  sudah  berakar  di  tengah- tengah  masyarakat  menurut  mereka  perlu dimodifikasi,  dan  akhirnya  bisa dimanfaatkan  untuk  kepentingan  dakwah. Terakhir yaitu di Jawa Barat, menempatkan seorang wali yaitu Sunan Gunung Jati.

Kedua, sistem  dakwah  dilakukan dengan  pengenalan  ajaran  Islam  melalui pendekatan  persuasif  yang  berorientasi pada  penaman  aqidah  Islam  yan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Rangkaian penggunaan sistem dakwah ini,  misalnya  kita  dapati  ketika  Raden Rahmat  atau  Sunan  Ampel  dan  kawan-kawan  berdakwah  kepada  Adipati  Aria Damar  dari  Palembang.  Berkat  keramahan dan kebijaksanaan Raden Rahmat, akhirnya Raden  Aria  Damar  sudi  masuk  Islam bersama  isrinya,  yang  diikuti  pula  oleh hamper  seluruh  anak  negerinya  (Ali Murtopo, 1971:88).

Ketiga, adalah  melakukan  perang ideologi untuk memberantas etos dan nilai-nilai  dogmatis  ang  bertentangan  dengan aqidah  Islam,  di  mana  para  ulama  harus menciptakan mitos dan nilai-nilai tandingan baru  yang  sesuai  dengan  Islam. Salah  satu tugas  utama  dari  para  ulama  yang  telah dikader  oleh  Raden  Rahmat  adalah menyebarkan  ajaran  Islam,  sebagimana telah dijelaskan di atas, adalah  dengan  nilai tandingan  bagi  ajaran  Yoga-Tantra  yang berazaskan  Ma-Lima.

Keempat,  adalah  melakukan pendekatan  terhadap  para  tokoh  yang dianggap  mempunyai  pengaruh  di  suatu tempat  dan  berusaha  menghindari  konflik. Salah  satu  azas  dakwah  yang  dicanangkan oleh  Walisongo  adalah  menghindari konflik-konflik  dengan  cara  melakukan pendekatan  kepada  para  tokoh  setempat, diilhami  oleh  cara  dakwah  yang  dilakukan oleh  para  Nabi  Muhammad  saw, apa  yang pernah  dirintis  oleh  para Rasulullah  untuk memperkuat  kedudukan  Islam  di  tengah peradaban  Jahiliyah  dewasa  itu,  yang kenyataannya relevan juga untuk diterapkan di Jawa oleh para Wali, meski dengan taktik yang disesuaikan.

Kelima,  berusaha  mengguasai kebutuhan-kebutuhan  pokok  yang  sangat dibutuhkan  oleh  masyarakat,  baik kebutuhan  yang  bersifat  materil  maupun spiritual.  Faktor  kebutuhan  pokok  amat vital  bagi  masyarakat  dewasa  itu  adalah menyangkut  masalah  air,  baik  air  sebagai kebutuhan  keluarga  sehari-hari  maupun sebagai  irigasi  pertanian.[16]

b.      Strategi Kebudayaan Walisongo

Walisongo mempunyai sikap yang moderat terhadap kebudayaan lokal. Mereka mengadopsi kebudayaan dan tradisi lokal, dan mengisinya dengan dengan nilai-nilai Islam.  Sikap ini terus dipertahankan, meskipun mereka sudah menjadi mayoritas dan mempunyai kerajaan-kerajaan Islam. Raden Patah, Raja Demak pertama, sebagaimana dikutip Abdurrahman Mas’ud, menerbitkan kebijakan untuk melindungi kebudayaan lokal sehingga sejarah mencatat bahwa masyarakat muslim di masa itu dapat hidup bersama secara rukun dengan semua masyarakat lokal dengan berbagai latar belakang tradisi, budaya, dan agama. Singkatnya, masyarakat muslim di bawah kepemimpinan Walisongo menghormati kebudayaan lokal yang sudah ada dan berkembang bersamaan dengan kebudayaan Islam. Walisongo bahkan sengaja mengambil instrumen kebudayaan lokal tersebut untuk mempromosikan nilai-nilai Islam. Dengan  kata  lain,  nilai-nilai  Islam  dipromosikan  dengan  instrumen  budaya  lokal.  Di  sini  perlu  diungkapkan  tiga  contoh strategi  budaya  yang  dikembangkan  oleh  Walisongo,  yakni  aristektur  masjid  sebagai  representasi  tatanan  sosial egaliter, wayang sebagai sarana membangun teologi umat, dan kreasi seni Islam bernuansa budaya lokal.

1)     Arsitektur Masjid sebagai Representasi Tatanan Sosial Egaliter

Arsitektur masjid dapat dipandang sebagai bentuk adopsi dari konsep masjid yang ada di Timur Tengah dengan vihara, pura, dan candi. Setidaknya, ada tiga entitas arsitektur masjid yang perlu dielaborasi, yakni atap masjid bersusun tiga, bentuk mustaka, dan bentuk menara. Model arsitektur masjid yang demikian itu tidak ditemukan di negara asal Islam, yakni Saudi Arabia khususnya dan Timur Tengah pada umumnya.

Pertama, atap masjid yang tersusun dari atas tiga lapis atap sebagaimana dapat dilihat pada Masjid Agung Demak dan masjid-masjid lainnya dapat dipandang sebagai bentuk adopsi dari pura. Dalam tradisi Hindu yang syarat dengan kelas sosial, jumlah susunan atap setiap Pura menunjukkan orang yang membangun dan komunitas yang berhak menggunakannya. Pura beratap susun sebelas adalah pura yang dibangun oleh raja besar (raja yang mempunyai daerah taklukan), dan hanya boleh digunakan untuk beribadah bagi para raja dan kalangan bangsawan. Pura dengan atap bersusun tujuh menunjukkan bahwa pura tersebut dibangun oleh raja atau bangsawan, dan hanya digunakan untuk para raja dan bangsawan. Pura dengan atap bersusun tiga adalah pura yang dibangun oleh rakyat biasa, dan digunakan sebagai tempat mereka beribadah. Pura model ini bisa jadi dibangun oleh raja atau bangsawan, tetapi ia dipergunakan untuk ibadah rakyat jelata.

Mungkin sekali, Walisongo dengan sengaja mengadopsi filosofi arsitektur Pura dengan atap bersusun tiga tersebut untuk membuat rakyat jelata tidak canggung untuk bergabung di tempat tersebut. Namun demikian, Walisongo tidak menjadikan dengan atap bersusun tiga tersebut hanya untuk para rakyat jelata, melainkan untuk umat Islam secara keseluruhan, termasuk para bangsawan dan bahkan raja. Di samping sebagai raja, Raden Patah juga sekali waktu menjadi imam di Masjid Agung Demak yang diikuti oleh para bangsawan dan rakyat jelata. Dengan demikian, Walisongo sebenarnya secara kultural telah  berusaha  melakukan  perombakan  tatatan  masyarakat  yang  kental  dengan  sistem  kasta  dan  status  sosial  menjadi masyarakat yang egaliter dan berkeadilan yang merupakan bagian dari esensi ajaran Islam.

 Arsitektur masjid yang terdiri dari tiga atap juga dapat diangap sebagai adopsi dari konsep arsitektur candi agama Budha. Dalam filsafat Budha, candi yang terdiri dari tiga lantai merepresentasikan filsafat perjalanan ruh manusia. Lantai pertama sebagai  representasi  alam  sebelum  manusia  lantai  kedua  sebagai  representasi  alam  manusia  dan  lantai  ketiga  sebagai representasi alam pasca melewati lingkaran karma. Adapun stupa merupakan representasi penyatuan ruh manusia dengan jiwa kosmik penggerak lingkaran karma. Masjid yang beratap tiga lapis dengan puncaknya diletakkan mustaka dapat dilihat sebagai adopsi dari candi Budha tersebut.

Hanya saja, Islam memberikan penjelasan teologi yang berbeda dari agama Budha. Dalam Islam, proses perjalanan ruh manusia dari alam arwah ke alam dunia ke alam kubur, dan selanjutnya ke alam akhirat hanya berlangsung sekali. Oleh karena itu, perbedaan yang paling mendasar adalah bahwa Islam tidak mengenal adanya konsep reinkarnasi sebagaimana agama Budha.  Hal  ini  menunjukkan  bahwa  para  Walisongo  menyadari  frame  pemikiran  masyarakat  tentang  arsitektur tempat ibadah. Jadi, mereka mendekatkan ajaran teologi Islam dengan menggunakan instrumen budaya yang telah ada, dan mengisinya dengan ajaran Islam. Pertanyaan  yang  kemudan  muncul  adalah  apakah  desain  arsitketur  masjid  dengan  atap  berlapis  tiga  tersebut  lebih merupakan adopsi dari arsitektur Pura atau atau Candi Budha? Dilihat dari filosofi dan semangat budaya yang dibangun tampaknya penyesuaian dengan Pura lebih dekat daripada penyesuaiannya dengan Candi Budha. Alasannya adalah ketika Islam  datang  maka  daerah-daerah  yang  menjadi  sasaran  dakwah  Walisongo  lebih  banyak  terpengaruh  oleh  ajaran  dan budaya Hindu daripada Budha. Selain itu, ide persamaan harkat kemanusiaan yang diusung melalui simbolisasi penggunaan masjid untuk semua umat tanpa melihat kelas sosial dipandang lebih dapat menyentuh langsung hati masyarakat yang ketika itu sangat kental dengan sistem kasta daripada konsep teologi kehidupan ataupun eskatologi yang biasanya akan dibangun belakangan.  Namun  demikian,  bisa  jadi  Walisongo  mengadopsi  kedua  bentuk  tersebut,  pura  dan  Candi  Budha,  secara bersamaan agar lebih mendekati masyarakat yang sudah terkena pengaruh Hindu dan Budha dalam waktu yang panjang. Kedua, mustaka masjid yang berbetuk seperti nanas adalah khas Indonesia.  Hal  ini  lebih  merupakan  model  dari arsitektur  Pura  atau  Vihara  dalam  budaya  Jawa.  Penulis  menduga  bahwa mustakayang  berbentuk  setengah  lingkaran dengan  atasnya  lancip  barulah  ditemukan  diakhir-akhir  abad  18  di  Indonesia  setelah  kerajaan-kerajaan  Islam,  seperti Samudera Pasai di Aceh, kuat dan mempunyai hubungan langsung dengan negara-negara Islam di Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia. Masjid dengan model mustakasetengah lingkaran tersebut utamanya terdapat di Aceh. Adapun masjid di Jawa masih didominasi oleh model mustaka berbentuk nanas sampai pertengahan abad ke-20.  Hal itu menunjukkan bahwa bahwa arsitektur masjid sebagai pusat pengembangan komunitas Muslim dirancang oleh Walisongo sesuai dengan budaya setempat. Walisongo tampaknya tidak khawatir bahwa mustakayang bergaya pura atau vihara tersebut akan menghilangkan identitas Islam.Hal  ini  dapat  diartikan  bahwa  Walisongo  lebih  menekankan  pada  dimensi  esensi  daripada  dimensi  artifisial  dalam beragama. Mereka dapat membedakan antara inti ajaran dari kebudayaan yang melingkupinya. Mereka lebih mementingkan dilaksanakannya  esensi  atau  substansi  ajaran  agama  oleh  masyarakat  daripada  maraknya  simbol  keagamaan.  Mereka mengusahakan agar Islam dapat memberikan kontribusi riil bagi masyarakat daripada mengusahakan Islam diterima secara formalistikdan dipahami secara formalistik pula. Ketiga, menara-menara masjid yang dibangun pada masa Walisongo maupun masa setelahnya sangat khas dengan budaya Jawa. Bahkan, menara Masjid Sunan Kudus memanfaatkan menara dari bekas menara Pura. Fenomena ini juga mempertegas sikap adaptif Walisongo terhadap budaya masyarakat setempat. Arsitektur masjid yang dikembangkan oleh Walisongo merepresentasikan suatu tatanan masayarakat baru yang egaliter, inklusif, dan transformatif.

Masyarakat yang egaliter ditunjukkan oleh pengakuan harkat dan martabat setiap orang untuk melakukan interaksi sosial secara proporsional. Bahkan, dalam bidang keagamaan, seperti yang ditunjukkan pada  saat  shalat  berjamaah,  tidak  ada  perbedaan  antara  manusia  berdasarkan  status  sosial.  Walisongo  juga  membentuk masyarakat   yang  tidak  sekadar   dapat   menghargai   keyakinan   dan   agama   masyarakat   setempat,   tetapi   Walisongo mengakultuasikan  nilai-nilai  Islam  dengan  instrumen  kebudayaan  masyarakat  setempat.  Hal ini merupakan perilaku beragama yang inklusif dan transformatif. Sifat inklusivismenya terlihat dari cara mereka menghargai agama dan budaya masyarakat setempat, sedangkan sifat transformatifnya terlihat dari cara mereka membangun masyarakat Muslim dalam masyarakat plural menuju kesejahteraan bersama bagi kemanusiaan.

2)     Wayang sebagai Sarana Membangun Teologi dan Konstruksi Sosial

Wayang merupakan bentuk kebudayaan Hindu-Budha yang diadopsi Walisongo sebagai sarana untuk mengenalkan ajaran Islam. Bahkan, kesenian rakyat tersebut dikonstruk Walisongo dengan teologi Islam sebagai pengganti dari teologi Hindu. Sampai saat ini pakem cerita asli pewayangan masih merupakan kisah-kisah dari kitab Mahabaratadan Ramayanayang merupakan bagian dari kitab suci Hindu. Walisongo mengadopsi kisah-kisah tersebut dengan memasukkan unsur nilai-nilai Islam dalam plot cerita tersebut. Pada prinsipnya, walisogo hanya mengadopsi instrumen budaya Hindu yang berupa wayang, dan memasukkan nilai-nilai Islami untuk menggantikan filsafat dan teologi Hindu (dan tentunya juga teologi Budha) yang terdapat di dalamnya. Sebagai contoh, Walisongo memodifikasi makna konsep “Jimat Kalimah Shada”yang asalnya berarti “jimat kali maha usada” yang  bernuansa  teologi  Hindu  menjadi  bermakna “azimah  kalimat  syahadah”. Frase  yang  terakhir  merupakan pernyataan  seseorang  tentang  keyakinan  bahwa  tiada  Tuhan  selain  Allah,  dan  bahwa  Muhammad  adalah  utusan  Allah.

 Keyakinan  tersebut  merupakan  spirit  hidup  dan  penyelamat  kehidupan  bagi  setiap  orang.  Dalam cerita pewayangan, Walisongo tetap menggunakan term tersebut untuk mempersonifikasikan senjata terampuh bagi manusia. Hanya saja, jika perspektif Hindu, jimat tersebut diwujudkan dalam bentuk benda simbolik yang dianggap sebagai pemberian Dewa, maka Walisongo  medesakralisasi  formula  tersebut  sehingga  sekadar  sebagai  pernyataan  tentang  keyakinan  terhadap  Allah  dan rasul-Nya. Dalam  perspektif  Islam, kalimah  syahadahtersebut  sebagai  “kunci  Surga”  yang  berarti  sebagai  formula  yang  akan mengantarkan manusia menuju keselamatan di dunia dan akhirat. Maksudnya, “syahadat”tersebut dalam perspektif muslim mempunyai kekuatan spiritual bagi yang mengucapkannya.  Hal ini merupakan pernyataan seorang muslim untuk hidup dengan teguh memegangi prinsip-prinsip ajaran Islam sehingga meraih kesuksesan hidup di dunia dan akhirat. Pemaknaan baru tersebut tidak akan mengubah pakem cerita, tetapi telah mampu membangun nilai-nilai Islam dalam cerita pewayangan. Walisongo juga menggunakan kesenian wayang untuk membangun konstruksi sosial, yakni membangun masyarakat yang beradab dan berbudaya. Untuk membangun arah yang berbeda dari pakem asli pewayangan, Walisongo menambahkan dalam  cerita  pakem  pewayangan  dengan  plot  yang  berisi  visi  sosial  kemasyarakat  Islam,  baik  dari  sistem  pemerintahan, hubungan bertetangga, hingga pola kehidupan keluarga dan kehidupan pribadi. Untuk tujuan tersebut, Walisongo bahkan memunculkan figur-figur baru yang sebenarnya tidak ada dalam kisah asli Mahabarata maupun Ramayana. Figur-figur yang paling   dikenal   luas   adalah punakawan yang   berarti   mentor   yang   bijak   bagi   para   Pandawa.   Walisongo   banyak memperkenalkan ajaran-ajaran Islam (aqidah, syariah, dan akhlak) melalui plot cerita yang dibangun berdasarkan perilaku punakawan tersebut.

Nama-nama  punakawan  sendiri  (Semar,  Nala  Gareng,  Petruk, dan Bagong)  sebagai  satu-kesatuan  sebenarnya merepresentasikan karakteristik kepribadian Muslim yang ideal. Semar, sebagaimana dijelaskan Sudarto, berasal dari kata ismaryang berarti seorang yang mempunyai kekuatan fisik dan psikis. Ia sebagai representasi seorang mentor yang baik bagi kehidupan, baik bagi raja maupun masyarakat secara umum. Nala Garengberasal dari kata nála qarínyang berarti seorang yang mempunyai banyak teman.  Ia  merupakan  representasi  dari  orang  yang  supel,  tidak  egois,  dan  berkepribadian menyenangkan sehingga ia mempunyai banyak teman. Petrukmerupakan kependekan dari frase fatruk ma siwá Allahyang berarti seorang yang berorientasi dalam segala tindakannya kepada Tuhan. Ia merepresentasikan orang yang mempunyai konsen sosial yang tinggi dengan dasar kecintaan pada Tuhan. Bagong berasal dari kata bagháyang berarti menolak segala hal yang bersifat buruk atau jahat, baik yang berada di dalam diri sendiri maupun di dalam masyarakat. Karakter-karakter punakawan tersebut cukup merepresentasikan aspirasi Walisongo tentang kepribadian seorang muslim dengan segala macam kedudukannya. Seorang muslim harus bersifat kuat kepribadiannya, berperilaku bijaksana, bersandar pada Tuhan, bersosialisasi dengan baik, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, memberantas kemungkaran, dan lain sebagainya, yang pada prinsipnya seorang muslim harus mampu membangun hubungan yang baik dengan sesama manusia, Tuhan, dan alam semesta.

3)    Kreasi Seni Islam Bernuansa Budaya Lokal

Jika  dilakukan  inventarisasi  secara  intensif,  maka  akan  ditemukan  banyak  bentuk  kreasi  budaya  Islam yang dikembangkan oleh Walisongo dalam rangka menyesuaikan Islam dengan budaya setempat. Dari sisi kesenian, kita dapat mencatat  kreasi  Walisongo  yang  berupa  tembang  macapat,  lagu-lagu  pujian  keagamaan,  lagu-lagu  dolanan,  dan  bentuk-bentuk permainan untuk anak-anak dan remaja. Walisongo mengembangkan lirik dan langgam tembang-tembang macapat yang sudah dikenal dan berkembang luas di masyarakat. Hanya saja Walisongo turut memberikan nilai-nilai Islam melalui isi dari tembang tersebut. Di antara langgam macapat yang diliris Walisongo adalah gambuh, sinom, mijil, dan dandang gula. Walisongo juga menciptakan lagu-lagu pujian keagamaan dengan model lirik yang semacan lagu pelipur lara (uyon-uyon), seperti ilir-ilir, bagi masyarakat umum.Untuk anak-anak dan remaja, Walisongo menciptakan lagu-lagu dolanan, seperti jublak-jublak suwengdan jamuran.

Mereka juga menciptakan model permainan (dolanan) untuk anak-anak dan remaja, seperti jitungandan trempolo kendang. Dalam banyak hal, permainan tersebut dimainkan dengan disertai menyanyikan lagu dolanan. Lagu-lagu  dan  mainan  tersebut  banyak  dilakukan  di  sekitar  masjid  sehingga  mendekatkan  remaja  dan  anak-anak kepada masjid. Di samping itu, lagu-lagu dolanan, model-model permainan maupun lagu macapattersebut dirancang secara filosofis sehigga mereka mempunyai nilai pedagogis. Dalam perspektif ini, ketika anak-anak bermain dan menyanyikan lagu dolanan ataupun  orang  dewasa  melantunkan  lagu  macapat,  mereka  sebenarnya  sedang  mempelajari,  memahami,  dan meresapi sebagian dari ajaran-ajaran Islam yang terkandung dalam elemen budaya tersebut. Oleh karena itu, tidak menjadi masalah jika aktivitas itu dilakukan di sekiar masjid yang ketika itu merupakan arena publik dengan multi fungsi termasuk tempat kesenian dan hiburan rakyat.

 

C.      Kesimpulan

Secara etimologis isitilah walisongo berasal dari dua kata “wali” dan “songo”. Kata wali itu sendiri berasalah dari bahasa Arab yang artinya “dekat” atau “kerabat” atau “teman”. Kata “wali” menurut istilah, merupakan sebutan bagi orang-orang Islam yang dianggap keramat, penyebar agama Islam, mereka dianggap “kekasih Allah”, orang-orang yang dekat dengan Allah, dikaruniai dengan tenaga gaib, mempunyai kekuatan-kekuatan batin yang sangat berlebih, mempunyai ilmu yang sangat tinggi, dan sakti Berjaya kewijayaan.

Adapun nama-nama Sembilan Walisongo yang umunya dikenal adalah Sunan Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, Raden Rahmat atau Sunan Ampel, Sunana Giri atau yang dikenal sebagai Raden Paku, Syarif Hidayatullah (dikenal dengan Fatahillah) atau Sunan Gunung Jati, Raden Umar Said atau Sunan Muria, Syekh Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus, Raden Qasim atau Sunan DrajatRaden Mas Syahid atau Sunan Kalijaga, Raden Ibrahim atau Sunan Bonang.

Beberapa strategi Walisongo dalam pelaksanaan dakwah dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut:

1.      Pembagian Wilayah Dakwah. Para Walisongo dalam melakukan aktivitas dakwahnya antara lain sangat memperhitungkan wilayah strategis.

2.      Sistem  dakwah  dilakukan dengan  pengenalan  ajaran  Islam  melalui pendekatan  persuasif  yang  berorientasi pada  penaman  aqidah  Islam  yan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.

3.      Melakukan  perang ideologi untuk memberantas etos dan nilai-nilai  dogmatis  ang  bertentangan  dengan aqidah  Islam,  di  mana  para  ulama  harus menciptakan mitos dan nilai-nilai tandingan baru  yang  sesuai  dengan  Islam.

4.       Melakukan pendekatan  terhadap  para  tokoh  yang dianggap  mempunyai  pengaruh  di  suatu tempat  dan  berusaha  menghindari  konflik.

5.      Mengguasai kebutuhan-kebutuhan  pokok  yang  sangat dibutuhkan  oleh  masyarakat,  baik kebutuhan  yang  bersifat  materil  maupun spiritual.

Singkatnya, masyarakat muslim di bawah kepemimpinan Walisongo menghormati kebudayaan lokal yang sudah ada dan berkembang bersamaan dengan kebudayaan Islam. Walisongo bahkan sengaja mengambil instrumen kebudayaan lokal tersebut untuk mempromosikan nilai-nilai Islam. Dengan  kata  lain,  nilai-nilai  Islam  dipromosikan  dengan  instrumen  budaya  lokal.  Di  sini  perlu  diungkapkan  tiga  contoh strategi  budaya  yang  dikembangkan  oleh  Walisongo,  yakni  aristektur  masjid  sebagai  representasi  tatanan  sosial egaliter, wayang sebagai sarana membangun teologi umat, dan kreasi seni Islam bernuansa budaya lokal.

 

 

 

D.     Daftar Pustaka

Arsyad,  M. Natsir. Seputar Sejarah dan Muamalah. Bandung: Al-Bayan, 1993.

Labib MZ. Kisah Kehidupan Wali Songo Penyebar Agama Islam  Di Tanah Jawa. Surabaya: Sinar Kemala. tt.

Motofo, Ali. Strategi Kebudayaan. Jakarta: CSIC. 1971.

Sofwan, Ridin. dkk.,  Islamisasi di jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.  2004.

Sunyoto,  Agus. Atlas Wali Songo. Depok: Pustaka Iiman. 2016.

Suryanegara dan Ahmad Mansur.  Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995.

Zarkasi, Effendy. Unsur Islam Dalam Pewayangan. Bandung: Al-Ma’arif, 1977.

 



[1] Effendy Zarkasi, Unsur Islam Dalam Pewayangan, (Bandung: Al-Ma’arif, 1977), hal. 52.

[2] M. Natsir Arsyad,  Seputar Sejarah dan Muamalah, (Bandung: Al-Bayan, 1993), hal. 132-136).

[3] Agus Sunyoto,  Atlas Wali Songo,  (Depok: Pustaka Iiman, 2016),  hal. 138.

[4] Agus Sunyoto,  Atlas Wali Songo,  (Depok ; Pustaka Iiman, 2016), hal. 72.

[5] Labib MZ, Kisah Kehidupan Wali Songo Penyebar Agama Islam  Di Tanah Jawa, (Surabaya: Sinar Kemala, tt), hal. 23.

[6] Agus Sunyoto,  Atlas Wali Songo,  (Depok, Pustaka Iiman,  2016),  hal. 210.

[7] Labib MZ, Kisah Kehidupan Wali Songo Penyebar Agama Islam Di Tanah Jawa,  (Surabaya: Sinar Kemala,  tt), hal. 60-61.

[8] Agus Sunyoto,  Atlas Wali Songo, (Depok: Pustaka Iiman, 2016),  hal. 268-269.

[9] Labib MZ, Kisah Kehidupan Wali Songo Penyebar Agama Islam  Di Tanah Jawa, (Surabaya: Sinar Kemala, tt), hal. 111.

[10] Agus Sunyoto,  Atlas Wali Songo, (Depok: Pustaka Iiman,  2016),  hal. 246.

[11] Agus Sunyoto,  Atlas Wali Songo, (Depok : Pustaka Iiman,  2016),  hal. 255.

[12] Agus Sunyoto,  Atlas Wali Songo,  (Depok; Pustaka Iiman,  2016),  hal. 260.

[13] Agus Sunyoto,  Atlas Wali Songo,  (Depok; Pustaka Iiman,  2016),  hal. 245.

[14] Ali Motofo, Strategi Kebudayaan,  (Jakarta: CSIC, 1971),  hal 7.

[15] Suryanegara dan Ahmad Mansur,  Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995),  hal 104.

[16] Ridin Sofwan, dkk.,  Islamisasi di jawa,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  2004),  hal 265.

Berikan Komentar untuk "Strategi Dakwah Kultural Walisongo dalam Menyebarkan Ajaran Agama Islam di Jawa"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel