INTERAKSI NILAI ISLAM dan BUDAYA LOKAL dalam KARYA SSENI MASYARAKAT
ABSTRAK
Agama dan kebudayaan adalah dua hal yang saling
berinteraksi dan saling mempengaruhi, karena pada keduanya terdapat nilai dan
simbol. Agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, sedangkan
kebudayaan dapat mempengaruhi sistem nilai dan simbol agama.1 Agama adalah
simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan, dan kebudayaan juga
mengandung nilai supaya manusia dapat hidup di dalamnya. Agama dalam perspektif
ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi
mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam struktur tata normatif
dan sosial. Sedangkan budaya merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia
(dalam masyarakat tertentu) yang mengandung nilainilai religiusitas, filosofis,
dan kearifan lokal (local wisdom). Kehadiran Islam ditengah masyarakat yang
sebelumnya sudah memiliki nilai-nilai budaya dan adat istiadat mengakibatkan
terjadinya interaksi antar dua unsur budaya yang berbeda, yaitu di satu sisi
Islam dan di sisi lain budaya lokal. Dalam proses interaksi tersebut, Islam
dapat terakomodasi oleh nilai-nilai
lokal. Pada sisi lain, Islam yang datang di tengah masyarakat yang telah
memiliki sistem nilai berusaha
mengakomodasi nilai-nilai lokal. Ini merupakan ciri khas ajaran Islam, yakni
bersifat akomodatif sekaligus reformatif terhadap budaya maupun tradisi yang
ada tanpa mengabaikan kemurnian Islam itu sendiri. Al Qur’an sendiri menyatakan
bahwa tradisi orang-orang terdahulu seringkali menjadi pijakan bagi orang-orang
atau generasi berikutnya, “(agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan
orang dahulu”.
Kata Kunci: Interaksi, Budaya Lokal, Agama Islam
Religion and culture are two things that interact and influence each other,
because both have values and symbols. Religion influences culture in its
formation, whereas culture can influence value systems and religious symbols.1
Religion is a symbol that symbolizes the value of obedience to God, and culture
also contains values so that humans can live in it. Religion in the
perspective of social sciences is a value system that contains a number of
conceptions about the construction of reality, which play a major role in the
structure of the normative and social order. Meanwhile, culture is an
expression of creativity, work, and human initiative (in certain societies)
which contains values of religiosity, philosophy, and local wisdom. The
presence of Islam in the middle of a society that previously had cultural
values and customs resulted in an interaction between two different cultural
elements, namely on the one hand Islam and on the other hand local culture. In
this interaction process, Islam can be accommodated by local values. On the
other hand, Islam that comes in the middle of a society that already has a
value system tries to accommodate local values. This is a characteristic of
Islamic teachings, namely being accommodative as well as reformative towards
existing cultures and traditions without neglecting the purity of Islam itself.
Al Qur'an itself states that the traditions of the previous people are often
the basis for people or the next generation, "(our religion) is nothing
but the customs of the old people".
Keywords: Interaction, Local Culture, Islam
A. Pendahuluan
Interaksi
Islam dengan budaya lokal pada suatu masyarakat mengalami bentuk hubungan yang
beragam. Beragamnya bentuk hubungan tersebut tergantung dari penghayatan
masyarakat terhadap ajaran Islam itu sendiri. Kedatangan Islam melalui dakwah
tidak dilakukan dengan melangsungkan oposisi terhadap budaya lokal, tetapi
mewarnai tradisi dengan spirit Islam. Masyarakat bahkan memiliki caranya
sendiri untuk tetap menjaga agar budaya lokal tetap dilakukan dengan tanpa
menciderai jiwa Islam, sementara Islam dijalankan dengan tetap menjaga harmoni
tradisi masyarakat. Dengan demikian interaksi Islam dan budaya lokal dimaksud
sebagai akulturasi nilai-nilai Islam yang terkandung dalam budaya lokal.
Sebenarnya Islam lahir sebagai produk lokal yang kemudian diuniversalisasikan
dan ditransendensi sehingga kemudian menjadi universal. Kemudian Islam
dipersepsi oleh pemeluknya sesuai dengan pengalaman, problem, kapasitas,
intelektual, sistem budaya, dan segala keragaman masing-masing di dalam
komunitas. Dengan
melangsungkan oposisi terhadap budaya lokal maka kita akan mencoba
membahasnya dalam makalah ini, yaitu dalam rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana konsep
interaksi islam dengan budaya lokal?
2.
Bagaimana Pola Interaksi Islam Dengan Budaya Lokal?
3.
Bagaimana Pelaksanaan Tradisi Pada Masyarakat sekitar dan
nilai yang terkandung di dalam tradisi tersebut.
B. Hasil dan Pembahasan
1.
Konsep Interaksi Islam Dengan Budaya Lokal
Islam dan kebudayaan dapat
saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Tetapi keduanya
perlu dibedakan, yaitu Islam adalah sesuatu yang universal, abadi (parennial)
dan tidak mengenal perubahan (absolut) pada aspek tauhid. Sedangkan kebudayaan
bersifat relatif dan temporer. Islam sebagai agama universal merupakan rahmat
bagi semesta alam dan dalam kehadirannya di muka bumi, Islam berbaur dengan
budaya lokal suatu masyarakat (local culture), sehingga antara Islam dengan
budaya lokal tidak bisa dipisahkan, melainkan keduanya merupakan bagian yang
saling mendukung dan melengkapi. Agama bernilai mutlak, tidak berubah menurut
perubahan waktu dan tempat. Tetapi berbeda dengan budaya, sekalipun berdasarkan
agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Kebanyakan
budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, agama
berdasarkan budaya. Oleh karena itu, agama adalah primer, dan budaya adalah
sekunder. Budaya dapat berupa ekspresi hidup keagamaan, karena ia sub-kordinat
terhadap agama.
Islam maupun kebudayaan,
sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam nmensikapi kehidupan agar
sesuai dengan kehendak Allah dan kemanusiaannya. Oleh karena itu, biasanya terjadi
interaksi antara Islam dengan kebudayaan tersebut. Agama memberikan warna
(spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap
agama. Secara lebih luas, Islam dan
budaya lokal dapat dilihat dalam perspektif sejarah, karena Islam dalam
penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman budaya lokal setempat,
sehingga strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan mengakomodasi
budaya lokal tersebut dan kemudian memberikan spirit keagamaannya. Terdapat dua
hal yang perlu dipahami dari interaksi Islam dan budaya, yaitu Islam sebagai
konsepsi sosial budaya yang disebut dengan great tradition (tradisi besar), dan
Islam sebagai realitas budaya yang disebut dengan little tradition (tradisi
kecil) atau local tradition. Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap
aktivitas masyarakat, ajaran Islam telah menjadi pola anutan. Dalam konteks
inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat.[1]
Di sisi lain budaya-budaya
lokal yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam.
Budayabudaya lokal ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna
Islam. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Islam sama sekali tidak menolak
tradisi atau budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Aceh. Bahkan dalam
penetapan hukum Islam dikenal salah satu cara melakukan ijtihad yang disebut
urf, yaitu penetapan hukum dengan mendasarkan pada tradisi yang berkembang
dalam masyarakat. Dengan cara ini berarti tradisi dapat dijadikan dasar
penetapan hukum Islam dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang
tertuang dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi Saw.
Proses Interaksi Islam dengan
budaya lokal menunjukkan bahwa Islam dapat terakomodasi oleh nilai-nilai lokal dan pada sisi lain
Islam berusaha mengakomodasi nilai-nilai lokal. Proses inilah yang disebut
dengan pribumisasi Islam, yaitu bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif
diakomodasikan ke dalam kebudayaan tanpa kehilangan identitas masing-masing.
Pribumisasi Islam adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi antara
agama dan budaya.8 Pada konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola
keberagamaan (Islam) yang sesuai dengan konteks lokalnya. Sehingga Islam tidak
kaku dan rigid dalam menghadapi realitas sosial masyarakat yang dinamis.[2]
2.
Pola Interaksi Islam Dengan
Budaya Lokal
Masuknya Islam ke Nusantara
(Indonesia) dan dalam perkembangan selanjutnya telah terjadi interaksi budaya
yang saling memengaruhi. Namun dalam proses interaksi itu, pada dasarnya
kebudayaan setempat yang tradisional masih tetap kuat, sehingga terdapat
perpaduan budaya asli (lokal) Indonesia dengan budaya Islam. Perpaduan inilah
yang kemudian disebut akulturasi kebudayaan. Akulturasi adalah percampuran dua
kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi atau proses
masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, sebagian menyerap
secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu. Oleh karena
itu, baik konflik maupun integrasi tidak pernah dapat berjalan secara sempurna.
Dengan kata lain, dalam
pertemuan dua budaya yang berbeda tidak semua unsur budaya yang masuk tertolak
secara keseluruhan dan juga tidak dapat terintegrasi secara penuh. Di antara
dua kutub tersebut dapat terjadi proses tarik menarik sehingga mendorong
terjadinya kompromitas, yaitu adaptasi atau akomodasi dan asimilasi. Sebuah
unsur budaya dalam proses interaksi akan tertolak, bila terjadi pertentangan
yang sangat menyolok dengan nilai-nilai lokal. Namun, unsur-unsur yang
bertentangan tersebut dapat diakomodasi, bila dimodifikasi agar sesuai dengan
budaya yang berlaku. Dapat juga dilakukan reinterpretasi agar unsur-unsur baru
tersebut dapat diterima. Hal tersebut dapat terjadi dalam sebuah interaksi,
karena setiap kebudayaan mempunyai kemampuan untuk bertahan dan menyeleksi pengaruh
budaya luar dengan bentuk penolakan atau mendiamkan, akomodasi, ataupun
instegrasi budaya luar ke dalam budaya asli. Dengan demikian, interaksi Islam
dengan budaya lokal dapat dilihat dari pola-pola, yaitu konflik, adaptasi atau
akomodasi, asimilasi, dan integrasi. Proses adatasi dan asimilasi yang terjadi.[3]
Di antara konflik dan integrasi
dapat menghasilkan perpaduan antara masing-masing nilai budaya untuk mencapai
suatu budaya khusus yang bercitra lokal. Hal ini dimungkinkan untuk terwujud,
karena dalam setiap pertemuan antara dua budaya, manusia membentuk,
memanfaatkan, dan mengubah hal-hal yang paling sesuai dengan kebutuhan.
Berdasarkan hal tersebut, proses akulturasi budaya melahirkan local genius,
yaitu kemampuan menyerap sekaligus seleksi dan pengolahan aktif terhadap
pengaruh kebudayaan yang datang, sehingga dapat dicapai ciptaan baru yang unik
dalam wilayah bangsa yang membawa kebudayaan tersebut.
Secara sosiohistoris Interaksi
Islam dengan budaya lokal terjadi dalam tiga pola penyebaran dan pembentukan
formasi Islam yang terjadi di Asia Tenggara, yaitu pertama, pola Pasai adalah
pola dimana Islam tumbuh bersama-sama dengan perkembangan pusat keknuasaan
negara dan Islam menjadi landasan sosial politik negara, sebagaimana dijelaskan
dalam hikayat raja-raja Pasai. Pola kedua dirumuskan berdasarkan kasus Malaka,
Patani, Gowa-Tallo dan Ternate yang disebut sebagai pola Malaka, yaitu
penyebaran dan penerimaan Islam melalui kekuatan magis atau yang lainnya
terjadi melalui konversi pusat kekuasaan lokal ke dalam kekuasaan Islam. Dan
pola ketiga adalah pola Jawa, yaitu penyebaran Islam terjadi melalui penaklukan
pusat kekuasaan lokal (Majapahit) oleh Islam (Demak), termasuk Kerajaan
Sriwijaya (Budha) di Sumatera Selatan.[4]
Penyebaran dan pembentukan Islam tersebut
terjadi dalam dua pola baru, yaitu pola integratif dan pola dialog. Pola Pasai
dan Malaka disebut dengan pola integratif, yaitu suatu kecenderungan yang
menunjukkan kearah pembentukan tradisi yang bercorak integratif. Integratif
adalah tahap penyesuaian yang telah dicapai pada suatu titik atau saat tertentu
di dalam culture cuntinum.12 Inilah tradisi dimana Islam mengalami proses
pembumian secara konseptual dan struktual. Sehingga dalam kasus ini Islam
menjadi bagian intrinsik dari sistem kebudayaan secara keseluruhan. Islam
dipandang sebagai landasan masyarakat, budaya, dan kehidupan pribadi.
Sedangkan, pada pola Jawa
disebut pola dialog, yaitu munculnya suatu tipe tradisi tertentu (tradisi
dialog lokal dan Islam). Pola dialog dapat menimbulkan konflik dan
harmonis. Bila konflik yang terjadi
berarti Islam dan budaya lokal tidak membentuk sebuah hubungan yang serasi dan
statis. Sedangkan, bila harmonis yang terjadi berarti Islam dan budaya lokal
membentuk sebuah hubungan yang serasi dan dinamis sehingga melahirkan tradisi
Islam bercitra lokal. Pola integratif ini disebut dengan pola Islamisasi,
sedangkan pola dialog disebut dengan pola pribumisasi.
Realitas interaksi Islam dengan
budaya lokal dalam suatu komunitas akan selalu unik. Karena, adanya akulturasi
dengan budaya setempat (lokal) dalam pengertian bahwa religi tersebut membentuk
sistem tersendiri berbeda dengan sistem dan cara yang terdapat pada masyarakat
Islam lain. Kendati boleh jadi masing-masing komunitas memeluk agama yang sama,
setiap daerah mempunyai sistem dan cara tersendiri serta mempunyai kekhasan
keislamannya. Ketika Islam menjumpai varian kultur lokal, maka yang segera
berlangsung ialah aneka proses simbiose yang saling memperkaya. Hal ini
menggambarkan Islam selalu memiliki warna lokal ketika menghampiri sebuah
komunitas.
3. Pelaksanaan Tradisi Pada Masyarakat sekitar dan nilai
yang terkandung di dalam tradisi tersebut
a.
Makna Tradisi Muludan
pada masyarakat Aceh.
Mempunyai perbedaan dan variasi
masing-masing. Hal ini dapat dilihat diantarnanya pada ritual perkawinan, rumah
adat, kesenian, ritual khanduri Maulod, dan motif-mitif adat dengan berbagai
ornamen. Aceh merupakan daerah yang mayoritas muslim, dimana Islam menjadi asas
pokok dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam hal ini aspek
kultural, idiologi, dan struktural bersenyawa dengan adat dan agama Islam. Bagi
masyarakat Aceh, hubungan adat dengan agama disebutkan Lagei Zat Ngon Sifeut
(seperti zat dengan sifat), artinya adat dengan agama tidak dapat dipisahkan sehingga
adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat Aceh tidak boleh bertentangan
dengan agama Islam.
Khanduri Maulod merupakan salah
satu tradisi dalam masyarakat Aceh yang masih dilestarikan oleh berbagai
lapisan masyarakat. Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun dalam rangka
memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW. Tradisi Khanduri Maulod di Aceh
dilaksanakan pada tiga bulan hijriyah,
yaitu pada bulan Rabiul Awal mulai dari tanggal 12 sampai berakhirnya
bulan, disebut Maulod Awai (maulid awal). Sedangkan pelaksanaan mulai tanggal 1
bulan Rabiul Akhir sampai berakhirnya bulan disebut Maulod Tengoh (maulid
tengah). Selanjutnya pada bulan Jumadil Awal
disebut Maulod Akhee (maulid akhir) yang pelaksanaannya sepanjang bulan
tersebut.
Pelaksanaan Khanduri Maulod
berdasarkan rentang tiga bulan itu
bertujuan agar masyarakat dapat melaksanakan tradisi tersebut secara
keseluruhan dan merata. Khanduri maulod
merupakan salah satu tradisi yang telah tersusun aturan perayaannya di Aceh.
Tradisi khanduri maulod ini termasuk dalam salah satu tradisi memperingati
hari-hari besar Islam di Aceh yang meliputi peringatan Nuzul Quran dan
peristiwa Isra’ Mi’raj. Khanduri maulod umumnya dilaksanakan di Masjid atau
Meunasah,
b.
Nilai-nilai Islam Pada Pelaksanaan Tradisi Khanduri
maulod
Setiap agama yang disosialosasikan memiliki sifat yang berbeda dalam
interasksinya dengan konteks lokal. Sebelum Islam masuk ke Aceh, Hindu
(mistisme) merupakan agama masyarakat Aceh. Hinduisme sebagai pandangan hidup
bagi masyarakat Aceh tercermin dari aktivitas ritual dan tradisi setempat.
Kemudian Islam masuk ke Aceh melalui pedagang Islam dari Arab. Di samping
berdagang, mereka juga memperkenalkan Islam dengan cara berdakwah dan
perkawinan. Kedatangan pedagang Arab ke Aceh menurut para sejarawan tidak
terlepas dari popularitas kerajaan Sriwijaya, di samping faktor geografis Aceh
yang sangat strategis bagi pelayaran lintas dunia. Daerah ini menjadi pintu
utama perdagangan yang terletak di selat Malaka dan memiliki terusan sempit
dalam rute perdagangan laut negeri-negeri Islam ke Cina. [5]
Interaksi Islam dengan budaya Aceh semakin kuat terlihat dari kecenderungan
masyarakat Aceh kepada Islam kendatipun Islam merupakan agama baru bagi mereka.
Islamisasi di Aceh dilakukan dengan cara persuasif (sufisme) melalui dakwah
atau islamisasi budaya, yaitu budaya lokal tetap dipertahankan, akan tetapi
aspek normatif budaya disesuaikan dengan ajaran Islam. Cara sufisme dalam Islam
inilah yang mempengaruhi penerimaan masyarakat yang pada saat itu masih
dipengaruhi oleh Hiduisme. Di sini tampak bahwa kesesuaian unsur-unsur dalam
Islam dengan sifat-sifat lokal masyarakat Aceh telah memungkinkan terjadinya
akomodasi dua sisitem nilai.
Bentuk Islamisasi seperti itu menyebabkan antara Islam dan budaya Aceh
tidak dapat dipisahkan meskipun dapat dibedakan, yang tercermin dalam falsafaf
hukoem ngoen adat lagei zat ngoen sifeut, yaitu budaya dalam aspek normatif
adalah didasarkan ajaran Islam. Karena itu budaya Aceh dinamakan sebagai budaya
Islam. Pengaruh Islam terhadap budaya Aceh dapat dilihat dalam berbagai bentuk,
diantaranya pada seni tari, musik seperti seudati, arsitektur seperti pada
rumoh Aceh, kaligrafi (aksara) seperti pada rencong, sistem pemerintahan
seperti penyebutan nama raja dengan sebutan sultan, dan ritual upacara seperti
khanduri maulod untuk memperingati maulid Nabi SAW. Pengaruh Islam pada tradisi
khanduri maulod dapat dilihat dari makna tradisi tersebut bagi masyarakat Aceh,
tidak hanya dimaknai sebagai makan bersama. Tradisi ini dijadikan momentum
untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap Islam, memperkuat keimanan
kepada Allah SWT, dan kecintaan kepada Rasulullah SAW. Itu sebabnya dalam
tradisi khanduri maulod ini diisi dengan kegiatan dakwah Islamiyah sehingga
menjadi sarana dakwah. Melalui dakwah dalam tradisi khanduri maulod ini diharapkan
masyarakat semakin mengenal dan mencintai Nabi Muhammad SAW, sehingga akan
lahir masyarakat yang menghidupkan sunnah Rasul. Dengan demikian, konstruksi
paradigma masyarakat Aceh dalam tradisi khanduri maulod ini merupakan bagian
dari bukti cinta kepada Nabi SAW. Khanduri maulod sebagai sarana dakwah
diharapkan memberikan kepada masyarakat Aceh secara kognitif dapat menambah
pengetahuan (knowmedge) tentang sirah nabawiyah.
Kemudian secara afektif, masyarakat
Aceh memiliki sikap untuk mengembangkan dakwah Islam ke depan. Sedangkan dampak
behavior, masyarakat Aceh memiliki perilaku untuk membumikan seluruh ajaran
Nabi Saw, dan hal ini menjadi misi utama dalam perayaan maulid dalam tradisi
khanduri maulod yang dilaksanakan setiap tahun.
Nilai-nilai Islam yang terdapat dalam tradisi khanduri maulod, yaitu
memperkokoh ukhuwah Islamiyah (menjaga shilaturrahmi) yang terlihat dari
mengundang masyarakat gampong lain untuk makan bersama. Karena dari tradisi khanduri maulod ini akan
terjadi hubungan, interaksi, dan komunikasi antara sesama umat Islam di satu
gampong dengan gampong lain. Makan bersama dalam suasana penuh keakraban tanpa
membedakan status sosial, kaya dan miskin, tanpa memandang pangkat jabatan
membaur menikmati hidangan yang disediakan oleh panitia dari sedekah masyarakat
adalah makna dari tradisi khanduri maulod.
Hal ini sesuai dengan tujuan Islam dimana Rasulullah SAW berpesan: “Hai Abu
Dzarr, jika engkau memasak kuah, maka perbanyaklah airnya dan perhatikan supaya
membagi tetangga tetanggamu”. Dalam tradisi khanduri maulod juga dilakukan
penyantunan anak yatim dengan memberikan sedekah dan makan bersama. Nilai-nilai
ini juga yang ditanamkan dalam ajaran Islam sebagaimana dijelaskan dala
Al-Quran: “atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada
hubungan kerabat” Begitu juga dengan pesan Nabi SAW untuk memberi makan anak
yatim dalam sabdanya: “Aku dan orang
yang menanggung anak yatim berada di surga seperti ini. Beliau mengisyaratkan
dengan kedua jarinya yaitu telunjuk dan jari tengah.” Disamping itu,
pelaksanaan khanduri maulod yang lazimnya dilaksanakan di meunasah atau di
mesjid menunjukkan isyarat untuk menjadikan mesjid sebagai pusat kehidupan dan
peribadatan, karena dari mesjid bermuara, maka hendaknya di mesjid pula
berakhir. Dengan demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi khanduri
maulod pada masyarakat Aceh tersebut menunjukkan realitas terjadinya interaksi
antara budaya lokal dengan Islam.[6]
C.
Kesimpulan
Tradisi
Khanduri Maulod merupakan budaya Aceh yang mengandung nilai-nilai Islam.
Pelaksanaannya dilakukan dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad
SAW, tetapi dalam budaya Aceh tradisi dilaksanakan dalam rentang tiga bulan
bertujuan agar masyarakat dapat melaksanakan tradisi tersebut secara keseluruhan
dan merata. Karena itu, tradisi khanduri maulod ini merupakan tradisi terbesar
pada masyarakat Aceh di mana masyarakat sejak jauh-jauh hari telah
mempersiapkannya dengan sedemikian rupa.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam tradisi khanduri maulod ini di
samping makan bersama, juga diisi dengan kegiatan dakwah Islamiyah, shalawat,
zikir, juga menyantuni anak yatim. Kegiatan-kegiatan tersebut menunjukkan bahwa
telah terjadi interaksi antara Islam dengan budaya lokal di Aceh. Dengan demikian,
khanduri maulod adalah simbol agama dan menjadi salah satu manifestasi untuk
memupuk kecintaan kepada Rasul SAW, menauladaninya, dan mengikuti sunnahnya.
Namun yang terpenting dari tradisi khanduri maulod ini adalah memperkuat
nilai-nilai Islam dan menghindarinya dari pengaruh yang tidak berdasarkan
ajaran Islam.
D.
Daftar
Pustaka
Abdullah, Taufik & Sharon Shiddique (ed), Tradisi
Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1989).
Alfian, T. Ibrahim Pasai dan Islam, dalam Pasai Kota
pelabuhan Jalan Sutra:
Badruzzaman, Ismail. Mesjid Dan Adat Meunasah Sebagai
Sumber Energi Budaya Aceh, (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2004).
Kuntowijiyo, Muslim Tanpa Mesjid: Essai-essai Agama,
Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme, Transendental, (Bandung: Mizan, 2000).
Linton, Ralp. The Study of Man, Terj. Firmansyah,
Antropologi Suatu Penyelidikan Tentang Manusia, (Bandung: Jemars, 1984).
Penulis:
Mauli Anjaninur Aliyah
Moh Zuha’ Zakiyuddin
Ahmad Rosyid Yaki Hadi Irfana
[1]
Alfian, T. Ibrahim Pasai dan
Islam, dalam Pasai Kota pelabuhan Jalan Sutra:
[2] Kuntowijiyo, Muslim Tanpa
Mesjid: Essai-essai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme,
Transendental, (Bandung: Mizan, 2000).
[3] Badruzzaman, Ismail. Mesjid Dan
Adat Meunasah Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh, (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2004).
[4] Abdullah, Taufik &
Sharon Shiddique (ed), Tradisi Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta:
LP3ES, 1989).
[5]Koentjaraningrat,
Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002).
[6] Linton, Ralp. The Study of Man,
Terj. Firmansyah, Antropologi Suatu Penyelidikan Tentang Manusia, (Bandung:
Jemars, 1984).
Berikan Komentar untuk "INTERAKSI NILAI ISLAM dan BUDAYA LOKAL dalam KARYA SSENI MASYARAKAT"
Posting Komentar