INTERELASI NILAI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DALAM RITUAL TRADISI MASYARAKAT
Abstrak
Agama dan budaya memiliki
budaya yang sangat kuat, karena keduannya merupakan nilai-nilai dan simbol.
Agama merupakan simbol yang merepresentasikan nilai ketaatan kepada tuhan.
Budaya juga mengandung nilai dan simbol agar manusia dapat hidup dilingkungannya.
Namun perlu ditekankan bahwa ada perbedaan. Agama sudah ada final, kekal, dan
tidak mengenali perubahan. Sementara budaya bisa berubah. Namun keduanya bisa
bergeser karena keduannya merupakan fakta sejarah. Interelasi antara agama
ataupun kepercayaan masyarakat dengan budaya adalah sangat erat. Oleh karena
itu agama dapat melahirkan budaya yang diciptakan oleh masyarakat sebagai
penganutnya untuk kepentingan maupun kenikmatan hidup bagi mereka.
Kata
Kunci: Interelasi, Agama, Budaya, Tradisi
A. Pendahuluan
Aktivitas dan tindakan manusia tidak pernah lepas dari nilai-nilai kebudayaan dalam kehidupan
sehari-harinya, baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan kelompok
masyarakat. Di samping itu
agama sangat berperan dalam pembentukan budaya masyarakat
sebagaimana pandangan para antropolog yang memandang agama sebagai sistem keyakinan
yang dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam
kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong atau
penggerak serta pengontrol bagi tindakan para anggota masyarakat untuk tetap
berjalan sesuai nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.Islam sebagai
agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia bahkan sebagai agama dunia yang mayoritas
penganutnya serta sebagai pembentuk kebudayaan yang dengannya dapat
membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan suatu waktu.
Agama dan budaya saling berkaitan dan saling
berhubungan satu sama lain. Umat yang beragama tentu memiliki
budaya yang masing-masing mempunyai khas tersendiri pada tiap
kebudayaannya serta memiliki nilai tersendiri bagi masyarakatnya. Salah satunya
adalah agama Islam yang ajarannya bukan hanya sekedar tentang bagaimana manusia
dengan Tuhannya lebih dari itu, ajaran Islam juga mengajarkan bagaimana
manusia berhubungan dengan sesamanya (bersosial) sehingga dapat
bertindak dan membentuk suatu budaya yang dengannya manusia dapat berhubungan,
berkomunikasi, dan melestarikan serta membentuk sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Jika dilihat dari sisi materialnya, kebudayaan terdiri dari dua
komponen pokok yang pertama, komponen terdiri dari atas tujuh unsur
universal yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, ilmu
pengetahuan, agama dan kesenian. Kedua, komponen wujud, terdiri atas sistem budaya
yang meliputi tingkah laku dan tindakan, dan kebudayaan yang berupa fisik
yaitu benda-benda hasil kreasi manusia yang bersifat material.
B. Rumusan Masalah
1.
Pengertian Interelasi Nilai
Islam dan Budaya Lokal ?
2.
Bagaimana Interelasi Nilai
Islam dan Budaya Lokal Dalam Ritual Tradisi Masyarakat ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Interelasi
Nilai Islam dan Budaya Lokal
2. Untuk mengetahui Interelasi
Nilai Islam dan Budaya Lokal Dalam Ritual Tradisi Masyarakat
D. Hasil dan Pembahasan
1. Interelasi Agama dan Budaya
Interelasi berasal dari bahasa Inggris “interelation” yang berarti mutual
relation atau saling berhubungan satu sama lain. Sementara itu Agaram secara
tehnis dan sederhana disimpulkan semakna dengan kata “relegion” (Bahasa
Inggris), “relige” ( Bahasa Belanda), “din” (Bahasa Arab), Agama (Bahasa
Indonesia)
Tidak ada satu defines tentang relegion yang dapat diterima secara umum. Para
filosof, sosiolog, psikologi, dan para teolog dan lain-lainnya telah merumuskan
definisi tentang religion menurut caranya masing-masing, dan sesuai dengan pola
tujuan masing-masing. Sebagian filosof
beranggapan bahwa religion itu struktur takhayul paham metafisis yang tidak
beraturan. Sementara sosiolog lebih senang menyebut religion sebagai ekspresi
kolektif nilai-nilai manusiawi. Psikolog menyimpulkan religion sebagai kompleks
fisik seputar superego yang direncanakan. Dari pernyataan diatas jelas bahwa
tidak ada batasan yang tegas mengenai religion yang mencakup berbagai fenomena
religion atau agama.
Namun secara umum religion dapat dilihat dalam bentuk-bentuk yang mempunyai
ciri-ciri khas dari kepercayaan aktifitas manusia yang dikenal sebagai kepercayaan
dan aktifitas agama atau religion yakni: kebaktian, pemisahan antara yang
sacral dan yang profane, kepercayaan terhadap roh, dewa atau tuhan.[1]
Banyak sekali para ahli menyebutkan agama berasal dari bahasa Sansakerta,
yaitu “a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. Maka agama berarti
tidak kacau (teratur). Dengan demikian agama itu adalah peraturan yang mengatur
keadaan manusia, maupun mengenai sesuatu yang ghaib, mengenai budi pekerti dan
pergaulan hidup bersama.[2]
Menurut Daradjat agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan
terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu lebih tinggi dari pada
manusia. Sedangkan Glock dan Strak mendefinisikan agama sebagai sistem simbol,
sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembaga, yang
kesemuannya terpusat pada persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi.[3]
Sementara definisi Agama menurut Emile Durkheim adalah suatu sistem
kepercayaan dan praktik yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal
yang kudus arau sacral kepercayaan dan praktik yang bersatu menjadi komunitas
moral yang unggul. Dari definisi ini ada dua unsur yang penting yang menjadi
syarat sesuatu dapat disebut sebagai agama, yaitu “sifat kudus” dari agama dan
“praktik-praktik ritual” dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep
mengenai suatu makhluk supranatural, tetapi agama tidak dapat dilepaskan unsur
diatas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika sa;ah satu unsur
tersebut terlepas. Disini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama
bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan ciri
dua tadi. Kita juga akan melihat bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki
hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang histories.
Banyak definisi mengenai kata “budaya/kultur” atau culture dalam bahasa
Inggris yang dibuat oleh para ahli sosiolog maupun antropolog dan lain-lain. Menurut
budayawan dan antropolog terkenal Koentjaningrat, kata “kebudayaan” berasal
dari kata “budaya”. Kebudayaan merupakan keseluruhan dari kelakuan dan hasil
kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan, yang harus didapatkannya
dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupann masarakat.
T.S Eliot dalam karyanya notes toward the definition of culture
menyatakan kultur atau hbudaya itu dapat diterangkan secara mudah, yaitu
sesuatu yang membuat hidup enak). Clyde Kluckhohn mendefinisikan “budaya atau
kultur” sebagai budaya dalam pengertian antropologi ialah keseluruhan cara
pandang hidup, warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya).
Dalam pandangan beberapa sosiolog menyebutkan bahwa agama Islam juga
disebut sebagai agama peradaban seperti ststemen H.A.R Gibb dalam karyanya
“Whither Islam” yang dikutip oleh M. Natsir Islam sesungguhnya jauh lebih
sebuah sistem teologi saja, Islam adalah suatu peradaban/kebudayaan yang
sempurna. [4]
Dari berbagai definisi diatas, penulis menganalisakan bahwa saling
hubungan atau interelasi antara agama ataupun kepercayaan masyarakat dengan
budaya adalah sangat erat. Oleh karena itu agama dapat melahirkan budaya yang
diciptakan oleh masyarakat sebagai penganutnya untuk kepentingan maupun
kenikmatan hidup bagi mereka. Jadi secara sosiologi pengertian agama adalah
gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia.
Tanpa terkecuali. Ia merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial masyarakat.
Sedangkan budaya atau kultur yang ada dalam masyarakat penganut suatu agama
sulit terpisahkan dari kepercayaan atau agama yang mereka anut, sehingga dalam
masyarakat tertentu sering terjadi sinkretisme dalam kepercayaan mereka.
2. Interelasi Nilai Islam dan Budaya Lokal Dalam Ritual
Tradisi Masyarakat
Setiap agama dalam arti seluas-luasnya tentu memiliki aspek fundamental,
yakni aspek kepercayaan dan keyakinan, terutama kepercayaan yang sakral, suci
atau ghaib. Dalam agama islam, kita diharuskan beriman kepada Allah, malaikat,
kitab-kitabnya, para rosulnya, iman kepada hari akhir dan iman kepada qodo dan
qodar. Keimanan ini terangkum dalam rukun iman, artinya itu merupakan sebuah
syarat kepercayaan dalam beragama Islam. Namun selain itu, masih terdapat
unsur-unsur keimanan yang lain yang juga harus dipercayai dan diimani seperti
iman kepada alam akhirat. Dalam budaya jawa pra Islam yang bersumberkan dari
ajaran agama hindu terdapat kepercayaan tentang adanya para dewata, seperti Dewa
Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa, demikian juga terdapat kepercayaan agama
budha tentang empat kasunyatan (kebenaran abadi), yakni dhika (penderitaan),
samusaya (sebab penderitaan), nirodha (pengalaman keinginan), dan marga (jalan
kelepasan) yaitu Nirwana. Adapun pada kepercayaan agama primitif, dimana
kepercayaan ini merupakan system kepercayaan masyarakat Nusantara kuno sebelum
kedatangan Hindu Budha maupun Islam. Inti kepercayaannya adalah percaya kepada
daya-daya kekuatan ghaib menempati pada setiap benda (dinamisme). Serta percaya
kepada roh-roh ataupun makhluk halus yang menempati suatu benda ataupun
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, baik benda mati maupun
benda hidup (animisme).[5]
Islam mengajarkan agar pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik
tertentu. Yang dimaksud ritualistik meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana
yang tersimpul dalam rukun Islam yaitu syahadatain, sholat, zakat, puasa, dan
haji. Khusus mengenai sholat dan puasa disamping sholat lima waktu, dan puasa
ramadhan, terdapat pula sholat-sholat sunnah. Intisari dari sholat adalah do’a,
secara harfiah sholat juga berdo’a kepada Allah SWT, sedangkan puasa merupakan
suatu bentuk pengendaliannafsu dalam rangka penyucian rohani. Aspek doa dan
puasa tampak mempunyai pengaruh yang luas, mewarnai berbagai bentuk upacara
tradisional orang Jawa.
Budaya Jawa menggariskan bahwa untuk memasuki lingkungan sosialnya, maka,
setiap orang Jawa perlu menjalani serangkaian upacara peralihan kehidupan, atau
juga dalam kegiatan sehari-harinya, baik dalam mencari nafkah, dan
upacara-upacara yang berhubungan dengan tempat tinggal, seperti membangun
gedung/rumah, meresmikan tempat tinggal, pindah rumah dan lain-lain. Upacara-upacara
tersebut dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan kompromi terhadap
makhluk-makhluk halus pengganggu, dimana mereka diyakini memiliki kekuatan
untuk menggagalkan semua usaha manusia. Didalam kepercayaan lama, upacara
dilakukan dengan mengadakan sesaji atau semacam korban yang disajikan kepada
daya-daya kekuatan gaib(roh-roh, makhluk halus, dewa-dewa) tertentu. Tentu
dengan upacara itu harapan pelaku upacara adalah agar hidup senantiasa dalam
keadaan selamat.[6]
Islam dan budaya Jawa memiliki hubungan yang sangat kental dimana telah
banyak dikaji oleh para pakar antropologi dan studi keislaman. Kebanyakan dari
mereka berpendapat bahwa dalam berbicara tentang Islam Jawa, perlu kiranya
mengenal karya sepektakuler Clifford Geertz, “The Religion of Java” yang telah
di terjemahkan oleh Aswab Mahasin kedalam bahasa Indonesia menjadi “Abangan,
Santri, Priyai dalam Masyarakat Jawa”. Karya Geertz tersebut merupakan embrio
dari pemikiran setelahnya tentang Islam di Indonesia.
Geertz memandang bahwa Islamisasi di Jawa, yang dimulai pada abad ke tiga
belas, adalah parsial dan variabel. Muslim yang taat, yang disebut santri,
terpusat di pesisir utara, di daerah-daerah pedesaan dimana terdapat
sekolah-sekolah tradisional Islam, dan dikalangan para pedagang diperkotaan.
Yang disebut dengan abangan adalah mayoritas petani, yang meski secara nominal
adalah Islami, tetap terikat dalam animisme Jawa dan tradisi nenek moyang.
Golongan tradisional, terpandang, terutam di perkotaan, meski secara nominal muslim,
memperaktekkan bentuk mistisisme yang berasal dari Hindu- Buddha sebelum Islam
Masuk di Jawa. Golongan bangsawan yang kemudian menjadi birokrat ini, dan
orang-orang yang mengadopsi gaya hidup mereka, disebut priyayi.[7]
Berangkat dari variasi tersebut, memperlihatkan bahwa Islam yang dipeluk
orang Jawa adalah artifisial (buatan). Islam Jawa sejatinya adalah Islam yang
dilumuri dengan praktik-praktik sinkretisme. Pengaruh Islam di Jawa tidak
terlalu besar. Islam hanya menyentuh kulit luar budaya Animisme, Hindu dan
Budha yang telah mendarah daging dihampir seluruh masyarakat Jawa. Sinkretisme
tersebut nampak pada citra dari masing-masing struktur sosial di tiga varian
(abangan, santri, dan priyayi): ritus yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk
menghalau makhluk halus jahat yang dianggap sebagai penyebab dari ketidak
teraturan dan kesengsaraan dalam masyarakat, agar ekuilibrium (keseimbangan)
dalam masyarakat dapat dicapai kembali (varian abangan), penekanan pada
tindakan-tindakan keagamaan sebagaimana digariskan dalam Islam (varian santri),
dan suatu kompleks keagamaan yang menekankan pada pentingnya hakekat halus
sebagai lawan dari kasar (kasar dianggap sebagai ciri utama kaum abangan), yang
perwujudannya tampak dalam berbagai sistem sosial yang berkaitan dengan etika,
tari-tarian, berbagai bentuk kesenian, bahasa dan pakaian (varian priyayi).
Orang Jawa memiliki ritus-ritus tertentu sebagai wadah dari mistisisme
yang dilakukannya. Ritus-ritus yang paling permukaan dan umum tampak dalam
tradisi yang dilaksanakan kalangan masyarakat adalah tradisi slametan dan
nyadran. Ada beberapa bentuk upacara slametan antara lain: slametan kelahiran,
slametan khitanan dan perkawinan, slametan kematian, slametan berdasarkan
penaggalan, slametan desa dan slametan sela. Sampai di sini, tampak sekali
ingin mengatakan bahwa Islam Jawa adalah jenis lain dari Islam, meskipun mereka
tidak melaksanakan ritus-ritus dari kalangan Islam normatif.
3.
Sedekah Bumi di Desa
Gemiringlor Nalumsari Jepara
Sedekah bumi atau Bersih desa adalah suatu ritual budaya
peninggalan nenek moyang sejak ratusan tahun lalu. Dahulu pada masa Hindu
ritual tersebut dinamakan sesaji bumi/ laut.
Pada masa Islam, terutama masa
Wali songo (500 tahun yang lalu) ritual budaya sesaji bumi tersebut tidak
dihilangkan, malahan dipakai sebagai sarana untuk melestarikan /mensyiarkan
ajaran Allah yaitu ajaran tentang iman dan takwa atau didalam bahasa jawa
diistilahkan eling lan waspodo yang artinya tidak mempersekutukan Allah dan
selalu tunduk dan patuh mengerjakan perintah dan menjauhi larangan AIIah. Untuk
mensyiarkan dan melestarikan ajaran iman dan takwa, maka para wali menumpang
ritual budaya sesaji bumi/laut yang dulunya untuk alam diubah namanya menjadi
sedekah bumi yang diberikan kepada manusia khususnya anak yatim dan fakir
miskin tanpa membedakan suku, agama, ras, atau golongan.
Ritual sedekah bumi yang sudah menjadi rutinitas bagi masyarakat jawa ini
merupakan salah satu jalan dan sebagai simbol penghormatan manusia terhadap
tanah yang menjadi sumber kehidupan. Selain itu, Sedekah bumi dalam tradisi
masyarakat jawa juga merupakan salah satu bentuk untuk menuangkan serta
mencurahkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat dan berkah yang
telah diberikannya. Sehingga seluruh masyarakat jawa bisa menikmatinya. Sedekah
bumi pada umumnya dilakukan sesaat setelah masyarakat yang mayoritas masyarakat
agraris menuai panen raya. Sebab tradisi sedekah bumi hanya berlaku bagi mereka
yang kebanyakan masyarakat agraris dan dalam memenuhi kebutuhannya dengan
bercocok tanam.
A. Manfaat dari pelaksanaan
Upacara Sedekah Bumi
1.
Sebagai sarana
bersyukur pada sang pencipta karena selama satu tahun masyarakat talah diberi
rezeki hasil panen.
2.
Sebagai media pembelajaran bagi
setiap pemimpin desa bagaimana menempatkan dirinya menjadi seorang pemimpin
yang baik. Mampu mengayomi dan menciptakan ketentraman dan kasejahteraan
seluruh masyarakat.
3.
Tradisi sedekah bumi ini merupakan
sarana hiburan bagi masyarakat, berupa kegatan religius yaitu Pengajian Umum
dan Pagelaran wayang Kulit.
4.
Pada saat dilakukan sedekah
tersebut biasanya muncul usaha-usaha sampingan penduduk baik dalam bentuk jasa
maupun makanan kecil, sebagai cara untuk menambah pendapatan penduduk.
5.
Sebagai sarana untuk mengingat
perjalan sejarah desa, baik yang berupa cerita rakyat maupun yang sudah dapat
dibuktikan kebenarannya.
B. Nilai-nilai yang
terkandung dalam Tradisi Apitan
1. Keberagamaan
Sikap religius masyarakat, yang tercermin sikap
masyarakat yang selalu ingat kepada Allah SWT, sebab alam dan seluruh isinya
adalah ciptaan Allah. Semakin manusia itu dekat kepada Allah SWT, maka Allah SWT akan
menurunkan karunia dan rahmatnya yang dapat berupa kesejahteraan dan kedamaian. Selalu ingat kepada jasa-jasa leluhur atau nenek moyang yang telah
mendirikan desa.
2. Ilmu Alamiah Dasar
Tradisi apitan bertujuan agar tanamannya terhindar (hama) penyakit dan hasil
panennya yang melimpah serta dapat menghasilkan sesuatu yang berharga bagi alam
tersebut. Oleh karena itu, tradisi
sedekah bumi tersebut sangat penting dilakukan sebagai rasa syukur atas segala
nikmat yang telah diberikan dalam kehidupan sehari-hari oleh Allah SWT.
Dan usaha masyarakat setempat untuk menjaga keseimbangan alam, manusia
menjaga hubungan dengan penguasa alam dan menjaga hubungan dengan sesama
manusia. Adapun pelaksanaannya bertempat di Balai Desa Gemiring Lor Kec.
Nalumsari Kab. Jepara
3. Ilmu Budaya Dasar
Untuk aspek budaya sendiri, jelas terletak pada pagelaran wayang kulit yang
diadakan sehari semalam. Pagelaran wayang kulit ini selain untuk hiburan warga
masyarakat juga digunakan masyarakat Desa Gemiring Lor untuk melestarikan
budaya yang sudah tidak begitu digemari oleh masyarakat sekitar, khususnya
anak-anak.
4. Ilmu Sosial Dasar
Disamping itu ada beberapa sikap
yang telah diperlihatkan oleh masyarakat Desa Gemiring Lor dalam melaksanakan
upacara sedekah bumi, dan sikap itu harus tertanam dalam hati para generasi muda yaitu:
a. Sikap gotong-royong, seperti dalam melaksanakan hajatan
upacara sedekah bumi, warga masyarakat saling bahu membahu, bekerja bersama-sama tanpa
pamrih.
b. Sikap hidup rukun saling tolong
menolong yang tercermin dari hidup guyub senantiasa terpelihara dalam
kehidupan masyarakat Desa Gemiring Lor.
c. Sikap masyarakat yang
senantiasa memelihara silaturrahim sesama warga merupakan modal untuk hidup
rukun, sebab dengan memelihara tali silaturahim, akan tercipta hidup yang damai jauh dari rasa saling mencurigai.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Interelasi berasal dari bahasa
Inggris “interelation” yang berarti mutual relation atau saling berhubungan
satu sama lain. Sementara itu Agaram secara tehnis dan sederhana disimpulkan
semakna dengan kata “relegion” (Bahasa Inggris), “relige” ( Bahasa Belanda),
“din” (Bahasa Arab), Agama (Bahasa Indonesia). Banyak definisi mengenai kata
“budaya/kultur” atau culture dalam bahasa Inggris yang dibuat oleh para ahli
sosiolog maupun antropolog dan lain-lain. Menurut budayawan dan antropolog
terkenal Koentjaningrat, kata “kebudayaan” berasal dari kata “budaya”. Kebudayaan
merupakan keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur
oleh tata kelakuan, yang harus didapatkannya dengan belajar dan yang semuanya
tersusun dalam kehidupann masarakat.
Islam dan budaya Jawa memiliki hubungan yang sangat kental dimana telah
banyak dikaji oleh para pakar
antropologi dan studi keislaman. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa dalam
berbicara tentang Islam Jawa, perlu kiranya mengenal karya sepektakuler
Clifford Geertz, “The Religion of Java” yang telah di terjemahkan oleh Aswab
Mahasin kedalam bahasa Indonesia menjadi “Abangan, Santri, Priyai dalam
Masyarakat Jawa”. Karya Geertz tersebut merupakan embrio dari pemikiran
setelahnya tentang Islam di Indonesia.
B. Saran
Demikianlah makalah singkat tentang Penyimpulan Tidak Langsung yang
penulis paparkan. Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis akan lebih focus dan lengkap dalam menjelaskan tentang
makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat
dipertanggung jawabkan. Kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi
kesempurnaan penulis makalah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Daradjat. Zakiyah. 2005. Ilmu Jiwa Agama.
Jakarta: Bulan Bintang.
Faisal Ismail.
1997. Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis, Jogyakarta: Titian Ilahi
Press.
Pangulu Abdul
Karim. Vol. VI, No.2 Juli –
Desember 2016. Interelasi Agama Dan Budaya, Nizhamiyah,
Rida Sofwan.
2000. Islam dan Kebudayaan Jawa dalam
Interelasi Nilai Jawa dan Islam. Yogyakarta;
Gama Media
Penulis:
Ahmad Zidnil Huda
M. Khoirul Mahmudi
Muhammad Riziq
Muhammad Abdurrochim
[1] Abdul Karim Pangulu,
Interelasi Agama Dan Budaya, Nizhamiyah, Vol. VI, No.2 Juli –
Desember 2016, 98-99
[2] Ismail Faisal,
Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis, Jogyakarta:
Titian Ilahi Press: 1997, Hal 28
[4] Abdul Karim Pangulu,
Interelasi Agama Dan Budaya, Nizhamiyah, Vol. VI, No.2 Juli –
Desember 2016, 99-100
Berikan Komentar untuk "INTERELASI NILAI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DALAM RITUAL TRADISI MASYARAKAT"
Posting Komentar