INTERELASI NILAI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DALAM RITUAL TRADISI MASYARAKAT


Abstrak

Agama dan budaya memiliki budaya yang sangat kuat, karena keduannya merupakan nilai-nilai dan simbol. Agama merupakan simbol yang merepresentasikan nilai ketaatan kepada tuhan. Budaya juga mengandung nilai dan simbol agar manusia dapat hidup dilingkungannya. Namun perlu ditekankan bahwa ada perbedaan. Agama sudah ada final, kekal, dan tidak mengenali perubahan. Sementara budaya bisa berubah. Namun keduanya bisa bergeser karena keduannya merupakan fakta sejarah. Interelasi antara agama ataupun kepercayaan masyarakat dengan budaya adalah sangat erat. Oleh karena itu agama dapat melahirkan budaya yang diciptakan oleh masyarakat sebagai penganutnya untuk kepentingan maupun kenikmatan hidup bagi mereka.

Kata Kunci: Interelasi, Agama, Budaya, Tradisi

A.  Pendahuluan

       Aktivitas dan tindakan manusia tidak pernah lepas dari nilai-nilai kebudayaan dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan kelompok masyarakat. Di samping itu agama sangat berperan dalam pembentukan budaya masyarakat sebagaimana pandangan para antropolog yang memandang agama sebagai sistem keyakinan yang dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan para anggota masyarakat untuk tetap berjalan sesuai nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia bahkan sebagai agama dunia yang mayoritas penganutnya serta sebagai pembentuk kebudayaan yang dengannya dapat membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan suatu waktu.

       Agama dan budaya saling berkaitan dan saling berhubungan satu sama lain. Umat yang beragama tentu memiliki budaya yang masing-masing mempunyai khas tersendiri pada tiap kebudayaannya serta memiliki nilai tersendiri bagi masyarakatnya. Salah satunya adalah agama Islam yang ajarannya bukan hanya sekedar tentang bagaimana manusia dengan Tuhannya lebih dari itu, ajaran Islam juga mengajarkan bagaimana manusia berhubungan dengan sesamanya (bersosial) sehingga dapat bertindak dan membentuk suatu budaya yang dengannya manusia dapat berhubungan, berkomunikasi, dan melestarikan serta membentuk sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Jika dilihat dari sisi materialnya, kebudayaan terdiri dari dua komponen pokok yang pertama, komponen terdiri dari atas tujuh unsur universal yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, ilmu pengetahuan, agama dan kesenian. Kedua, komponen wujud, terdiri atas sistem budaya yang meliputi tingkah laku dan tindakan, dan kebudayaan yang berupa fisik yaitu benda-benda hasil kreasi manusia yang bersifat material.

B.  Rumusan Masalah

1.    Pengertian Interelasi Nilai Islam dan Budaya Lokal ?

2.    Bagaimana Interelasi Nilai Islam dan Budaya Lokal Dalam Ritual Tradisi Masyarakat ?

C.  Tujuan

1. Untuk mengetahui Interelasi Nilai Islam dan Budaya Lokal

2. Untuk mengetahui Interelasi Nilai Islam dan Budaya Lokal Dalam Ritual Tradisi Masyarakat

D.  Hasil dan Pembahasan

1.    Interelasi Agama dan Budaya

Interelasi berasal dari bahasa Inggris “interelation” yang berarti mutual relation atau saling berhubungan satu sama lain. Sementara itu Agaram secara tehnis dan sederhana disimpulkan semakna dengan kata “relegion” (Bahasa Inggris), “relige” ( Bahasa Belanda), “din” (Bahasa Arab), Agama (Bahasa Indonesia)

Tidak ada satu defines tentang relegion yang dapat diterima secara umum. Para filosof, sosiolog, psikologi, dan para teolog dan lain-lainnya telah merumuskan definisi tentang religion menurut caranya masing-masing, dan sesuai dengan pola tujuan masing-masing.  Sebagian filosof beranggapan bahwa religion itu struktur takhayul paham metafisis yang tidak beraturan. Sementara sosiolog lebih senang menyebut religion sebagai ekspresi kolektif nilai-nilai manusiawi. Psikolog menyimpulkan religion sebagai kompleks fisik seputar superego yang direncanakan. Dari pernyataan diatas jelas bahwa tidak ada batasan yang tegas mengenai religion yang mencakup berbagai fenomena religion atau agama.

Namun secara umum religion dapat dilihat dalam bentuk-bentuk yang mempunyai ciri-ciri khas dari kepercayaan aktifitas manusia yang dikenal sebagai kepercayaan dan aktifitas agama atau religion yakni: kebaktian, pemisahan antara yang sacral dan yang profane, kepercayaan terhadap roh, dewa atau tuhan.[1]

Banyak sekali para ahli menyebutkan agama berasal dari bahasa Sansakerta, yaitu “a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. Maka agama berarti tidak kacau (teratur). Dengan demikian agama itu adalah peraturan yang mengatur keadaan manusia, maupun mengenai sesuatu yang ghaib, mengenai budi pekerti dan pergaulan hidup bersama.[2]

Menurut Daradjat agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu lebih tinggi dari pada manusia. Sedangkan Glock dan Strak mendefinisikan agama sebagai sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembaga, yang kesemuannya terpusat pada persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi.[3]

Sementara definisi Agama menurut Emile Durkheim adalah suatu sistem kepercayaan dan praktik yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus arau sacral kepercayaan dan praktik yang bersatu menjadi komunitas moral yang unggul. Dari definisi ini ada dua unsur yang penting yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut sebagai agama, yaitu “sifat kudus” dari agama dan “praktik-praktik ritual” dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu makhluk supranatural, tetapi agama tidak dapat dilepaskan unsur diatas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika sa;ah satu unsur tersebut terlepas. Disini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan ciri dua tadi. Kita juga akan melihat bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang histories.

Banyak definisi mengenai kata “budaya/kultur” atau culture dalam bahasa Inggris yang dibuat oleh para ahli sosiolog maupun antropolog dan lain-lain. Menurut budayawan dan antropolog terkenal Koentjaningrat, kata “kebudayaan” berasal dari kata “budaya”. Kebudayaan merupakan keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan, yang harus didapatkannya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupann masarakat.

T.S Eliot dalam karyanya notes toward the definition of culture menyatakan kultur atau hbudaya itu dapat diterangkan secara mudah, yaitu sesuatu yang membuat hidup enak). Clyde Kluckhohn mendefinisikan “budaya atau kultur” sebagai budaya dalam pengertian antropologi ialah keseluruhan cara pandang hidup, warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya).

Dalam pandangan beberapa sosiolog menyebutkan bahwa agama Islam juga disebut sebagai agama peradaban seperti ststemen H.A.R Gibb dalam karyanya “Whither Islam” yang dikutip oleh M. Natsir Islam sesungguhnya jauh lebih sebuah sistem teologi saja, Islam adalah suatu peradaban/kebudayaan yang sempurna. [4]

Dari berbagai definisi diatas, penulis menganalisakan bahwa saling hubungan atau interelasi antara agama ataupun kepercayaan masyarakat dengan budaya adalah sangat erat. Oleh karena itu agama dapat melahirkan budaya yang diciptakan oleh masyarakat sebagai penganutnya untuk kepentingan maupun kenikmatan hidup bagi mereka. Jadi secara sosiologi pengertian agama adalah gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia. Tanpa terkecuali. Ia merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial  dan bagian dari sistem sosial masyarakat. Sedangkan budaya atau kultur yang ada dalam masyarakat penganut suatu agama sulit terpisahkan dari kepercayaan atau agama yang mereka anut, sehingga dalam masyarakat tertentu sering terjadi sinkretisme dalam kepercayaan mereka.

2.    Interelasi Nilai Islam dan Budaya Lokal Dalam Ritual Tradisi Masyarakat

Setiap agama dalam arti seluas-luasnya tentu memiliki aspek fundamental, yakni aspek kepercayaan dan keyakinan, terutama kepercayaan yang sakral, suci atau ghaib. Dalam agama islam, kita diharuskan beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kitabnya, para rosulnya, iman kepada hari akhir dan iman kepada qodo dan qodar. Keimanan ini terangkum dalam rukun iman, artinya itu merupakan sebuah syarat kepercayaan dalam beragama Islam. Namun selain itu, masih terdapat unsur-unsur keimanan yang lain yang juga harus dipercayai dan diimani seperti iman kepada alam akhirat. Dalam budaya jawa pra Islam yang bersumberkan dari ajaran agama hindu terdapat kepercayaan tentang adanya para dewata, seperti Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa, demikian juga terdapat kepercayaan agama budha tentang empat kasunyatan (kebenaran abadi), yakni dhika (penderitaan), samusaya (sebab penderitaan), nirodha (pengalaman keinginan), dan marga (jalan kelepasan) yaitu Nirwana. Adapun pada kepercayaan agama primitif, dimana kepercayaan ini merupakan system kepercayaan masyarakat Nusantara kuno sebelum kedatangan Hindu Budha maupun Islam. Inti kepercayaannya adalah percaya kepada daya-daya kekuatan ghaib menempati pada setiap benda (dinamisme). Serta percaya kepada roh-roh ataupun makhluk halus yang menempati suatu benda ataupun berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, baik benda mati maupun benda hidup (animisme).[5]

Islam mengajarkan agar pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik tertentu. Yang dimaksud ritualistik meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam yaitu syahadatain, sholat, zakat, puasa, dan haji. Khusus mengenai sholat dan puasa disamping sholat lima waktu, dan puasa ramadhan, terdapat pula sholat-sholat sunnah. Intisari dari sholat adalah do’a, secara harfiah sholat juga berdo’a kepada Allah SWT, sedangkan puasa merupakan suatu bentuk pengendaliannafsu dalam rangka penyucian rohani. Aspek doa dan puasa tampak mempunyai pengaruh yang luas, mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa.

Budaya Jawa menggariskan bahwa untuk memasuki lingkungan sosialnya, maka, setiap orang Jawa perlu menjalani serangkaian upacara peralihan kehidupan, atau juga dalam kegiatan sehari-harinya, baik dalam mencari nafkah, dan upacara-upacara yang berhubungan dengan tempat tinggal, seperti membangun gedung/rumah, meresmikan tempat tinggal, pindah rumah dan lain-lain. Upacara-upacara tersebut dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan kompromi terhadap makhluk-makhluk halus pengganggu, dimana mereka diyakini memiliki kekuatan untuk menggagalkan semua usaha manusia. Didalam kepercayaan lama, upacara dilakukan dengan mengadakan sesaji atau semacam korban yang disajikan kepada daya-daya kekuatan gaib(roh-roh, makhluk halus, dewa-dewa) tertentu. Tentu dengan upacara itu harapan pelaku upacara adalah agar hidup senantiasa dalam keadaan selamat.[6]

Islam dan budaya Jawa memiliki hubungan yang sangat kental dimana telah banyak dikaji oleh para pakar antropologi dan studi keislaman. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa dalam berbicara tentang Islam Jawa, perlu kiranya mengenal karya sepektakuler Clifford Geertz, “The Religion of Java” yang telah di terjemahkan oleh Aswab Mahasin kedalam bahasa Indonesia menjadi “Abangan, Santri, Priyai dalam Masyarakat Jawa”. Karya Geertz tersebut merupakan embrio dari pemikiran setelahnya tentang Islam di Indonesia.

Geertz memandang bahwa Islamisasi di Jawa, yang dimulai pada abad ke tiga belas, adalah parsial dan variabel. Muslim yang taat, yang disebut santri, terpusat di pesisir utara, di daerah-daerah pedesaan dimana terdapat sekolah-sekolah tradisional Islam, dan dikalangan para pedagang diperkotaan. Yang disebut dengan abangan adalah mayoritas petani, yang meski secara nominal adalah Islami, tetap terikat dalam animisme Jawa dan tradisi nenek moyang. Golongan tradisional, terpandang, terutam di perkotaan, meski secara nominal muslim, memperaktekkan bentuk mistisisme yang berasal dari Hindu- Buddha sebelum Islam Masuk di Jawa. Golongan bangsawan yang kemudian menjadi birokrat ini, dan orang-orang yang mengadopsi gaya hidup mereka, disebut priyayi.[7]

Berangkat dari variasi tersebut, memperlihatkan bahwa Islam yang dipeluk orang Jawa adalah artifisial (buatan). Islam Jawa sejatinya adalah Islam yang dilumuri dengan praktik-praktik sinkretisme. Pengaruh Islam di Jawa tidak terlalu besar. Islam hanya menyentuh kulit luar budaya Animisme, Hindu dan Budha yang telah mendarah daging dihampir seluruh masyarakat Jawa. Sinkretisme tersebut nampak pada citra dari masing-masing struktur sosial di tiga varian (abangan, santri, dan priyayi): ritus yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menghalau makhluk halus jahat yang dianggap sebagai penyebab dari ketidak teraturan dan kesengsaraan dalam masyarakat, agar ekuilibrium (keseimbangan) dalam masyarakat dapat dicapai kembali (varian abangan), penekanan pada tindakan-tindakan keagamaan sebagaimana digariskan dalam Islam (varian santri), dan suatu kompleks keagamaan yang menekankan pada pentingnya hakekat halus sebagai lawan dari kasar (kasar dianggap sebagai ciri utama kaum abangan), yang perwujudannya tampak dalam berbagai sistem sosial yang berkaitan dengan etika, tari-tarian, berbagai bentuk kesenian, bahasa dan pakaian (varian priyayi).

Orang Jawa memiliki ritus-ritus tertentu sebagai wadah dari mistisisme yang dilakukannya. Ritus-ritus yang paling permukaan dan umum tampak dalam tradisi yang dilaksanakan kalangan masyarakat adalah tradisi slametan dan nyadran. Ada beberapa bentuk upacara slametan antara lain: slametan kelahiran, slametan khitanan dan perkawinan, slametan kematian, slametan berdasarkan penaggalan, slametan desa dan slametan sela. Sampai di sini, tampak sekali ingin mengatakan bahwa Islam Jawa adalah jenis lain dari Islam, meskipun mereka tidak melaksanakan ritus-ritus dari kalangan Islam normatif.

3.    Sedekah Bumi di Desa Gemiringlor Nalumsari Jepara

Sedekah bumi atau Bersih desa adalah suatu ritual budaya  peninggalan nenek moyang sejak ratusan tahun lalu. Dahulu pada masa Hindu ritual tersebut dinamakan sesaji bumi/ laut.

 Pada masa Islam, terutama masa Wali songo (500 tahun yang lalu) ritual budaya sesaji bumi tersebut tidak dihilangkan, malahan dipakai sebagai sarana untuk melestarikan /mensyiarkan ajaran Allah yaitu ajaran tentang iman dan takwa atau didalam bahasa jawa diistilahkan eling lan waspodo yang artinya tidak mempersekutukan Allah dan selalu tunduk dan patuh mengerjakan perintah dan menjauhi larangan AIIah. Untuk mensyiarkan dan melestarikan ajaran iman dan takwa, maka para wali menumpang ritual budaya sesaji bumi/laut yang dulunya untuk alam diubah namanya menjadi sedekah bumi yang diberikan kepada manusia khususnya anak yatim dan fakir miskin tanpa membedakan suku, agama, ras, atau golongan.

Ritual sedekah bumi yang sudah menjadi rutinitas bagi masyarakat jawa ini merupakan salah satu jalan dan sebagai simbol penghormatan manusia terhadap tanah yang menjadi sumber kehidupan. Selain itu, Sedekah bumi dalam tradisi masyarakat jawa juga merupakan salah satu bentuk untuk menuangkan serta mencurahkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat dan berkah yang telah diberikannya. Sehingga seluruh masyarakat jawa bisa menikmatinya. Sedekah bumi pada umumnya dilakukan sesaat setelah masyarakat yang mayoritas masyarakat agraris menuai panen raya. Sebab tradisi sedekah bumi hanya berlaku bagi mereka yang kebanyakan masyarakat agraris dan dalam memenuhi kebutuhannya dengan bercocok tanam.

A.  Manfaat dari pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi

1.    Sebagai sarana bersyukur pada sang pencipta karena selama satu tahun masyarakat talah diberi rezeki hasil panen.

2.    Sebagai media pembelajaran bagi setiap pemimpin desa bagaimana menempatkan dirinya menjadi seorang pemimpin yang baik. Mampu mengayomi dan menciptakan ketentraman dan kasejahteraan seluruh masyarakat.

3.    Tradisi sedekah bumi ini merupakan sarana hiburan bagi masyarakat, berupa kegatan religius yaitu Pengajian Umum dan Pagelaran wayang Kulit.

4.    Pada saat dilakukan sedekah tersebut biasanya muncul usaha-usaha sampingan penduduk baik dalam bentuk jasa maupun makanan kecil, sebagai cara untuk menambah pendapatan penduduk.

5.    Sebagai sarana untuk mengingat perjalan sejarah desa, baik yang berupa cerita rakyat maupun yang sudah dapat dibuktikan kebenarannya.

B.  Nilai-nilai yang terkandung dalam Tradisi Apitan

1.    Keberagamaan    

Sikap religius masyarakat, yang tercermin sikap masyarakat yang selalu ingat kepada Allah SWT, sebab alam dan seluruh isinya adalah ciptaan Allah. Semakin manusia itu dekat kepada Allah SWT, maka Allah SWT akan menurunkan karunia dan rahmatnya yang dapat berupa kesejahteraan dan kedamaian. Selalu ingat kepada jasa-jasa leluhur atau nenek moyang yang telah mendirikan desa.

 

2.    Ilmu Alamiah Dasar

Tradisi apitan bertujuan agar tanamannya terhindar (hama) penyakit dan hasil panennya yang melimpah serta dapat menghasilkan sesuatu yang berharga bagi alam tersebut.  Oleh karena itu, tradisi sedekah bumi tersebut sangat penting dilakukan sebagai rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan dalam kehidupan sehari-hari oleh Allah SWT.

Dan usaha masyarakat setempat untuk menjaga keseimbangan alam, manusia menjaga hubungan dengan penguasa alam dan menjaga hubungan dengan sesama manusia. Adapun pelaksanaannya bertempat di Balai Desa Gemiring Lor Kec. Nalumsari Kab.  Jepara

 

3.    Ilmu Budaya Dasar

Untuk aspek budaya sendiri, jelas terletak pada pagelaran wayang kulit yang diadakan sehari semalam. Pagelaran wayang kulit ini selain untuk hiburan warga masyarakat juga digunakan masyarakat Desa Gemiring Lor untuk melestarikan budaya yang sudah tidak begitu digemari oleh masyarakat sekitar, khususnya anak-anak.

 

4.    Ilmu Sosial Dasar

Disamping itu ada beberapa sikap yang telah diperlihatkan oleh masyarakat Desa Gemiring Lor dalam melaksanakan upacara sedekah bumi, dan sikap itu harus tertanam dalam hati para generasi muda yaitu:

a.    Sikap gotong-royong, seperti dalam melaksanakan hajatan upacara sedekah bumi, warga masyarakat saling bahu membahu, bekerja bersama-sama tanpa pamrih.

b.    Sikap hidup rukun saling tolong menolong  yang tercermin dari hidup guyub senantiasa terpelihara dalam kehidupan masyarakat Desa Gemiring Lor.

c.    Sikap masyarakat yang senantiasa memelihara silaturrahim sesama warga merupakan modal untuk hidup rukun, sebab dengan memelihara tali silaturahim, akan tercipta hidup yang damai jauh dari rasa saling mencurigai.

 


 

BAB III

PENUTUP

A.  Kesimpulan

       Interelasi berasal dari bahasa Inggris “interelation” yang berarti mutual relation atau saling berhubungan satu sama lain. Sementara itu Agaram secara tehnis dan sederhana disimpulkan semakna dengan kata “relegion” (Bahasa Inggris), “relige” ( Bahasa Belanda), “din” (Bahasa Arab), Agama (Bahasa Indonesia). Banyak definisi mengenai kata “budaya/kultur” atau culture dalam bahasa Inggris yang dibuat oleh para ahli sosiolog maupun antropolog dan lain-lain. Menurut budayawan dan antropolog terkenal Koentjaningrat, kata “kebudayaan” berasal dari kata “budaya”. Kebudayaan merupakan keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan, yang harus didapatkannya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupann masarakat.

       Islam dan budaya Jawa memiliki hubungan yang sangat kental dimana telah banyak dikaji oleh para pakar antropologi dan studi keislaman. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa dalam berbicara tentang Islam Jawa, perlu kiranya mengenal karya sepektakuler Clifford Geertz, “The Religion of Java” yang telah di terjemahkan oleh Aswab Mahasin kedalam bahasa Indonesia menjadi “Abangan, Santri, Priyai dalam Masyarakat Jawa”. Karya Geertz tersebut merupakan embrio dari pemikiran setelahnya tentang Islam di Indonesia.

B.  Saran

Demikianlah makalah singkat tentang Penyimpulan Tidak Langsung yang penulis paparkan. Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih focus dan lengkap dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan. Kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan penulis makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

            Daradjat. Zakiyah. 2005. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.

Faisal Ismail. 1997. Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi          Historis, Jogyakarta: Titian Ilahi Press.

Pangulu Abdul Karim.  Vol. VI, No.2 Juli – Desember 2016.  Interelasi Agama      Dan Budaya,   Nizhamiyah,

Rida Sofwan. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa  dalam Interelasi Nilai Jawa      dan Islam. Yogyakarta; Gama Media

 Penulis:

Ahmad Zidnil Huda

M. Khoirul Mahmudi

Muhammad Riziq

Muhammad Abdurrochim


  [1] Abdul Karim Pangulu, Interelasi Agama Dan Budaya, Nizhamiyah, Vol. VI, No.2 Juli – Desember 2016, 98-99

                [2] Ismail Faisal, Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis, Jogyakarta: Titian Ilahi Press: 1997, Hal 28

                [3] Daradjat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 2005, Hal 10

                [4] Abdul Karim Pangulu, Interelasi Agama Dan Budaya, Nizhamiyah, Vol. VI, No.2 Juli – Desember 2016, 99-100

                [5] Rida Sofwan, “Islam dan Kebudayaan Jawa” dalam Interelasi Nilai Jawa dan Islam, ed. M. Darori Amin, , Yogyakarta; Gama Media, 2000 , hal 122-123

                [6] Ibid, hal 130

                [7] Ahmad Khalil, Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 30.

Berikan Komentar untuk "INTERELASI NILAI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DALAM RITUAL TRADISI MASYARAKAT"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel