MAKALAH KESELARASAN AGAMA ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL JAWA
KESELARASAN AGAMA ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL ( JAWA )
Oleh:
1.
Silvi Mirayda Nurul Fajrina (1710110045)
2.
Khoirun Nisa Habibah (1710110072)
3.
Ahmad Saju’ Solda (1710110074)
4.
Muhammad Imam Majid (1710110118)
ABSTRAK
Akulturasi antara adat dengan agama di Indonesia tidak dapat
dipisahkan, karena budaya lokal dan tradisi tersebut sudah mengakar. Agama Islam sebagai agama
mayoritas di Indonesia menjadi salah satu agama yang dijadikan sebagai
perpaduan antara agama dengan budaya. Praktik dalam kehidupan dapat
menjembatani adat dan agama sehingga akan lahir sesuatu yang baru.
Agama Islam adalah sebagai tatanan hidup meliputi seluruh aspek hidup dan
kehidupan, dari mulai masalah ritual sampai kepada masalah muamalah termasuk
masalah sosial budaya, sosial ekonomi, sosial politik, bahkan sampai kepada
masalah kenegaraan.
Islam,
datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang
baik dan seimbang. Dengan demikian, Islam tidaklah datang untuk
menghancurkan budaya yang telah dianut oleh suatu masyarakat.Akan tetapi, dalam
waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan
terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam
kehidupannya. Sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing
kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan
berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Kata Kunci : Islam,
Budaya, Jawa
A.
PENDAHULUAN
Membahas mengenai islam dan budaya lokal,
merupakan pembahasan yang sangat menarik, yang mana agama islam sebagai agama
universal yaitu rahmat bagi semesta alam, dalam kehadirannya di bumi ini, islam
berbaur dengan budaya lokal (local culture), sehingga antara islam dan
budaya lokal pada suatu masyarakat tidak dapat dipisahkan, melainkan keduanya
adalah bagian yang saling melengkapi.
Agama islam sebagai agama yang di turunkan
oleh Allah SWT untuk semua umat manusia telah memainkan peranannya di dalam
mengisi kehidupan umat manusia di bumi ini. Kehadiran agama islam
ditengah-tengah masyarakat yang sudah memiliki budaya tersendiri, ternyata
membuat agama islam dengan budaya setempat mengalami akulturasi, yang pada
akhirnya tata pelaksanaan ajaran agama islam sangat beragam. Namun demikian,
Al- Qur’an dan Assunnah sebagai sumber hukum islam tetap menjadi ujung tombak
di dalam suatu masyarakat muslim, sehingga islam begitu identik dengan
keberagaman.
Indonesia sebagai salah satu Negara terbesar
yang memiliki warisan kebudayaan memiliki peranan yang cukup penting dalam
memindahkan unsur-unsur kebudayaan dari generasi ke generasi guna memelihara
identitas dan melawan pengaruh
westernisasi yang kian gencar menyelimuti segala aspek kehidupan masyarakat
Indonesia. Banyak kearifan daerah yang patut digali dan dikembangkan karena
bangsa ini sangat kaya dengan kearifan lokal yang sangat tinggi nilainya bagi
kerukunan.Karena selama ini dengan adanya kearifan lokal maka bangsa ini
dikenal dengan bangsa yang rukun.
B.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
1.
KONSEP BUDAYA
a. Definisi
Budaya
Kata
kebudayaan berasal dari kata budh dalam bahasa Sansekerta yang berarti akal,
kemudian menjadi kata budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk).Sehingga
kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia.ada pendapat
yang mengatakan bahwa kebudayaan berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah
akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan.Sedangkan daya berarti
perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur jasmani sehingga kebudayaan diartikan
sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia.[1]
Koenjaraningrat
mengartikan budaya sebagai wujud yang mencakup keseluruhan dari gagasan,
kelakuan, dan hasil-hasil kelakuan.Sehingga dapat dilihat bahwa segala sesuatu
yang ada dalam pikiran manusia yang dilakukan dan dihasilkan oleh kelakuan
manusia adalah kebudayaan.[2]
Hal yang
sama juga diungkapkan oleh koenjaraningrat bahwa “kebudayaan” berasal dari kata
sansekerta buddhayah bentuk jamak dari buddi yang berarti budi atau akal,
sehingga menurutnya kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan
dengan budi dan akal, ada juga yang berpendapat sebagai suatu perkembangan dari
majemuk budi-daya yang artinya daya dari budi atau kekuatan dari akal.[3]Koenjaraningrat
berpendapat bahwa kebudayaan mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu pertama
sebagai suatu ide, gagasan, nilai-nilai norma-norma peraturan dan
sebagainya.Kedua sebagai suatu aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam
sebuah komunitas masyarakat.Ketiga, benda-benda hasil karya manusia.[4]
Selo
Soemardjan dan Soeleman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai samua hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat.Karya msyarakat menghasilkan teknologi dan
kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniyah yang diperlukan oleh manusia
untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan
untuk keperluan masyarakat.[5]
b.
Unsur-unsur Budaya
Dalam
menjelaskan isi kebudayaan, koentjaraningrat merujuk pada konsepsi Malinowski
tentang unsur-unsur budaya universal (cultural universals), sebagai berikut:
1)
Bahasa
2)
Teknologi
3)
Sistem mata pencaharian hidup
atau ekonomi
4)
Organisasi sosial
5)
Sistem pengetahuan
6)
Religi
7)
Kesenian.
Menurut Koentjaraningrat setiap unsure kebudayaan itu dapat
mempunyai empat wujud, yaitu: (1) Wujud kebudayaan sebagai
kompleks gagasan, konsep, dan pemikiran manusia, (2) Wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks aktivitas, (3) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks
aktivitas, (4) Wujud kebudayaan sebagai benda.
Sebagai contoh, bahasa dapat berwujud sebagai sistem budaya (tata
bahasa, norma-norma, ujaran, dan aturan-aturan pemakaiannya), dapat berwujud
sebagai suatu kompleks aktivitas (aktivitas manusia untuk bercakap-cakap,
berkomunikasi dengan alat-alat komunikasi), dan dapat berwujud sebagai benda
(tulisan di atas lontar, tulisan di atas kertas, di atas mikrofis, di atas
microfilm, dan sebagainya).[6]
c.
Budaya Lokal
Sejalan
dengan pengertian budaya diatas, maka budaya lokal lebih diartikan sebagai
wujud tradisi, kebiasaan, nilai-nilai norma, bahasa, keyakinan, dan
berpikiryang terpola dalam suatu masyarakat dan diwariskan dari generasi ke
generasi serta memberikan identitas pada komunitas pendukungnya yang berlaku di
wilayah tertentu (Indonesia).
Sangat sulit
menunjukkan sebenarnya seperti apa atau yang mana budaya Indonesia itu yang
sebenarnya, mungkin cukup dijawab dengan dua kata yaitu “budaya multi-etnis”.
Pernyataan tersebut dapat dipahami lantaran salah satu cirri menonjol Negara
kita (Indonesia) adalah keanekaragaman, baik secara fisik maupun sosial-budaya.
Indonesia adalah negeri dengan heterogenitas tertinggi di muka bumi,
berdasarkan kenyataan bahwa ia terdiri dari 13.000 pulau (besar dan kecil) yang
dihuni dan tidak dihuni (atau menurut perkiraan dari Angkatan Laut Republik Indonesia
adalah 17.000 pulau), dengan kelmpok kesatuan dan bahasa daerah masing-masing
yang jumlahnya mencapai ratusan, secara sosial-budaya negeri kita juga sangat
heterogen. Demikian pula dari segi keagamaan. Sekalipun islam merupakan agama
terbesar di Indonesia, namun ia mengenal perbedaan intensitas pemahan dan
pelaksanaaan yang besar dari daerah ke daerah, selain islam, keempat di antara
agama-agama besar di dunia diwakili di negeri kita: Protestan, Katolik, Hindu,
dan Budha.[7]
2.
KONSEP AGAMA ISLAM
a. Pengertian Agama
Dalam masyarakat Indonesia, selain kata agama, dikenal pula kata “Din”
yang berasal dari bahasa Arab dan kata religi dari bahasa Eropa. Kata “agama”
berasal dari kata Sansekerta. Ada satu pendapat yang mengatakan bahwa kata itu
tersusun dari 2 kata, “A” yang berarti tidak dan “Gam” yang berarti pergi. Jadi
agama berarti tidak pergi, tetap di kontak, tetap di tempat dan diwarisi secara
turun temurun. Agama memang mempunyai sifat seperti itu. Ada pendapat lain yang
mengatakan bahwa agama berarti Teks atau kitab suci. Pada kenyataannya
agama-agama memang mempunyai kitab suci titik pada sisi lain kata gram juga
berarti tuntunan karena memang agama mengandung juga ajaran-ajaran yang menjadi
tuntunan hidup bagi para penganutnya.
Din dalam bahasa timur tengah berarti “undang-undang
atau hukum”. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai
menunjukkan balasan kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan yang
merupakan hukum yang harus dipatuhi orang. Selanjutnya agama memang menguasai diri
seseorang dan membuat dia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan
ajaran-ajaran agama. Lebih lanjut lagi membawa kewajiban yang kalau tidak
dijalankan oleh seseorang ia akan menjadi hutang baginya. Paham kewajiban dan
kepatuhan membawa pula kepada paham balasan. Yang menjalankan kewajiban dan
yang patuh akan mendapat balasan baik dari Tuhan. Yang tidak menjalankan
kewajiban dan yang tidak patuh akan mendapat balasan yang tidak baik.[8]
Kata agama dalam bahasa Arab dan dalam al-qur’an disebut Din yang
diulang sebanyak 92 kali. Menurut etimologi, mengandung pengertian menguasai
ketaatan dan balasan. Sedangkan menurut istilah atau terminologi, Din
diartikan sebagai sekumpulan keyakinan hukum dan norma yang akan mengantarkan
manusia kepada kehidupan kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat.[9]
Dari rumusan definisi tersebut dapat disimpulkan pengertian agama itu
meliputi tiga sistem penting, yaitu
1) Suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan
2) Suatu sistem penyembahan kepada Tuhan
3) Suatu sistem nilai yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan atau hubungan vertikal dan hubungan manusia dengan manusia
atau hubungan horizontal.
b. Unsur-unsur Agama
Sebuah sistem aturan kehidupan dapat dikatakan sebuah agama jika memenuhi
unsur-unsurnya. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan dan saling menguatkan
antara satu dengan lainnya. Jika salah satunya tidak ada maka sistem tersebut
tidak bisa dianggap sebagai agama.[10]
1)
Unsur keyakinan atau kepercayaan (credial)
Credial adalah keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan di setiap agama pasti
memiliki keyakinan kepada Tuhan. Dalam Islam Tuhan manusia adalah Allah swt.
Agama Yahudi Tuhannya adalah Yahwe. Kristen Tuhannya adalah Tuhan Bapa. Hindu
dan Buddha meyakini dewa-dewa sebagai Tuhan dan lain sebagainya. Keyakinan
kepada Tuhan merupakan pondasi dalam beragama. Sebab tuhan memiliki kekuatan
dan kekuasaan yang tidak mampu ditandingi oleh manusia. Oleh sebab itu seorang
yang beragama pasti bertuhan jika tidak bertuhan mereka dinamakan sebagai
ateis. Adanya keyakinan manusia terhadap sesuatu yang gaib yang memiliki
kekuatan untuk menciptakan dan mengatur alam semesta ini dan keyakinan tentang
adanya Tuhan.
2)
Ritual (penyembahan)
Setelah adanya keyakinan pada sesuatu yang lebih besar dari diri manusia
atau Tuhan maka lahirlah rasa takut dalam diri manusia tersebut. Dengan rasa
takut yang tertanam dalam diri itu mendorong manusia untuk menyembah Tuhan yang
ia yakini. Maka inilah yang dinamakan dengan ritual yaitu penyembahan kepada
Tuhan. Setiap agama memiliki cara ritual yang berbeda-beda. Hal ini diatur
sesuai dengan agama masing-masing. Dalam Islam tata cara penyembahan terhadap
Allah swt diatur dalam seperangkat hukum yang dinamakan dengan fiqih ibadah.
Begitu juga dengan agama lain mereka memiliki tata cara ritual yang berbeda
sesuai dengan tuntunan agama mereka masing-masing. Manusia yang taat dalam
menjalankan ritual, maka mereka akan mendapatkan balasan dari Tuhan mereka
masing-masing.
3)
Moral (norma sosial)
Moral atau norma sosial yang merupakan nilai agama yang mengatur tentang
hubungan antara manusia dengan manusia lainnya di sebuah agama tidak saja
mengatur antara manusia dengan Tuhannya. Akan tetapi sebuah agama juga mengatur
hubungan antara manusia dengan manusia. Tidak hanya itu agama juga mengatur
hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Hal ini bertujuan untuk menciptakan
keharmonisan dalam kehidupan di dunia. Saling menghormati menghargai dan
bertoleransi merupakan nilai moral yang menjadi kunci terwujudnya kemaslahatan
sosial budaya baik sesama agama ataupun berbeda agama. Sedangkan kepada
lingkungan sekitar seperti hewan ataupun tumbuhan manusia harus merawat dan
melestarikannya dengan baik. Sebab hidup berdampingan secara baik dengan alam
akan menyelamatkan kehidupan manusia itu sendiri.[11]
c. Fungsi Agama
1) Sarana Pendidikan
2) Jalan Menuju Keselamatan
3) Jembatan Perdamaian Dunia
4) Agama Sebagai Benteng Kekuatan
5) Identitas Diri[12]
d. Pengertian Islam
Di tinjau dari segi ethimologi atau asal usul bahasa, istilah Islam diambil
dari bahasa Arab, Aslama-yuslimuyang berarti berserah diri, patuh, taat,
tunduk. Pengertian ini menurut pemeluknya untyk berserah diri, patuh, taat,
kepada ajaran, tuntunan, petunjuk dan peraturan hukum Allah swt.
Kata Islam juga berasal dari kata Asllim, artinya perdamaian,
kerukunan, keamanan. Maksudnya agama Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk
dapat mewujudkan perdamaian dan keamanan dalam kehidupan pribadi dan
bermasyarakat, baik lahir maupun batin.[13]
Dan ini merupakan salah satu makna dan ciri khas dari Islam yaitubahwa Islam
merupakan agama yang senantiasa membawa umat manusia pada perdamaian.[14] Islam juga diambil dari kata Assalam, yang artinya selamat,
sejahtera, bahagia. Maksudnya agama Islam menganjurkan kepada pemeluknya agar
dapat mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan dalam kehidupan bermasyarakat.
Islam juga diambil dari kata Salimun, artinya suci dan bersih. Maksudnya
agama Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk menjaga kesucian diri dan
lingkungannya.[15]
Agama yang suci dan bersih, mampu menjadikan para pemeluknya untuk memiliki
kebersihan dan kesucian jiwa yang dapat mengantarkannya pada kebahagiaan
hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Karena pada hakikatnya, ketika Allah
swt mensyariatkan berbagai ajaran Islam, adalahkarena tujuan utamanya untuk
mensucikan dan membersihkan jiwa manusia.[16]
Ditinjau dari segi terminologi/istilah, Islam adalah agama yang diturunkan
oleh Allah kepada manusia melalui RasulNya, yang berisi hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam
semesta.[17] Islam
juga dijadikan pedoman hidup dan sebagai hukum/aturan Allah swt yang dapat
membimbing umat manusia kejalan yang lurus, menuju ke kebahagiaan dunia dan
akhirat.[18]
Jadi, dari pengertian agama dan Islam, dapat disimpulkan agama Islam adalah
sebagai tatanan hidup meliputi seluruh aspek hidup dankehidupan, dari mulai
masalah ritual sampai kepada masalah muamalahtermasuk masalah sosial budaya,
sosial ekonomi, sosial politik, bahkansampai kepada masalah kenegaraan.
3.
KESELARASAN
ANTARA AGAMA ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL
Agama Islam sejak kehadiranya
di muka bumi ini, telah memainkan peranannya sebagai salah satu agama yang
menjadi rahmat bagi semesta alam.Ini, tentunya membawa Islam sebagai bentuk
ajaran agama yang mampu mengayomi keberagaman umat manusia dimuka bumi ini.
Islam sebagai agama universal sangat menghargai kebudayaan yang ada pada suatu
masyarakat, sehingga kehadiran Islam di tengah-tengah masyarakat tidak
bertentangan, melainkan Islam dekat dengan kehidupan masyarakat, di sinilah
sebenarnya, bagaimana Islam mampu membuktikan dirinya sebagai ajaran yang
lentur di dalam memahami kondisi kehidupan suatu masyarakat. Hal ini pun
terjadi di Indonesia, di mana Islam yang ada di Indonesia merupakan hasil dari
proses dakwah yang dilaksanakan secara kultural, sehingga Islam di Indonesia,
mampu berkembang dan menyebar serta banyak dianut oleh mayoritas masyarakat
Indonesia dalam waktu yang cukup singkat.
Karena kehadiran Islam di
Indonesia yang pada saat itu budaya lokal sudah dianut masyarakat Indonesia
mampu masuk secara halus tanpa kekerasan, hal ini berkat dari ajaran Islam yang
sangat menghargai akan pluralitas suatu masyarakat. Banyak kajian sejarah dan
kajian kebudayaan yang mengungkap betapa besar peran Islam dalam perkembangan
kebudayaan bangsa Indonesia.Hal ini dapat di pahami, karena Islam merupakan
agama bagi mayoritas penduduk Indonesia.Bahkan dalam per- kembangan budaya
daerah terlihat betapa nilai-nilai budaya Islam telah menyatu dengan
nilai-nilai budaya di sebagian daerah di tanah air, baik dalam wujud seni
budaya, tradisi, maupun peninggalan fisik.Sementara itu dalam pengembangan
budaya nasional, peran Islam dalam terbentuknya wawasan persatuan dan kesatuan
bangsa telah dibuktikan dalam sejarah.
Islam dapat menjadi
penghubung bagi berbagai kebudayaan daerah yang sebagian besar masyarakatnya
adalah Muslim.Peran tersebut secara ekplisit dikemukakan oleh Presiden pada
sambutan Seminar Nasional Budaya Bangsa 10 November 1995, bahwa “Agama bukan
saja telah menghindar- kan berkembangnya yang sempit, tetapi secara tidak
langsung juga ikut meletakan dasar dasar kebudayaan nasional…”, ajaran agama
yang dianut oleh bangsa kita telah memberikan motivasi yang kuat bagi tumbuh
dan berkembangnya pergerakan kebangsaan, lancarnya proklamasi kemerdekaan,
gigihnya perjuangan bersenjata mengusir penjajah dan terarahnya pembangunan
nasional “. Walaupun pengaruh nilai-nilai Islam telah nyata dalam perkembangan
seni budaya nasional, namun pengaruh tersebut lebih ditekankan kepada upaya
perkembangan budaya nasional dalam makna yang dinamis.
Bangsa Indonesia yang terdiri
atas berbagai suku bangsa, agama dan kebudayaan lokal, perlu menumbuhkan dua
macam sistem budaya itu yaitu: sistem budaya nasional (supra etnik), sistem
budaya daerah (etnik). Sementara itu, bangsa Indonesia yang terdiri dengan
banyak suku bangsa dengan sistem budaya etnik-lokanya
masing-masing.Sistem-sistem budaya yang otonom itu ditandai oleh pewarisan
nilai-nilai melalui tradisi.Nilai-nilai tersebut telah berakar kuat dalam
masyarakat yang bersangkutan.Seterusnya, dalam masyarakat etnik lokal itu
sepanjang waktu terjadi vitalisasi dan aktualisasi nilai-nilai budayanya yang
khas.Dalam rangka perkembangan budaya nasional, kebudayaan etnik lokal itu
sering kali berfungsi sebagai sumber atau sebagai acuan dalam
penciptaan-penciptaaan baru (dalam bahasa, seni, tata masyarakat, teknologi,
dan sebagainya) yang kemudian ditampilkan dalam peri kehidupan lintas
budaya.Sistem-sistem budaya etnik lokal inilah yang pada umumnya memberikan
rasa berakar kepada rakyat Indonesia. Ber- dasarkan kondisi di atas, diperlukan
strategi untuk mencapai dua tujuan dasar pembinaan kebudayaan, yaitu:
1.
Semakin kuatnya nilai-nilai penghayata
nilai-nilai budaya nasional agar mampu menyongsong masa depan bangasa yang
ditandai oleh semakin canggihnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan semakin meningkatnya persaingan ekonomi antar bangsa dan semakin
kompleksnya arus informasi dan proses penduniannya yang lain.
2.
Semakin kokohnya kesadaran bangsa akan jati
dirinya yang ditandai oleh pewarisan nilai-nilai luhur, kokohnya kehidupan
beragama, kesadaran sejarah dan daya cipta yang dimiliki. Agama Islam pada
prinsipnya sangat menghargai beraneka ragamnya budaya lokal yang ada, sehingga
menjadikan agama Islam sebagai agama yang beragam dalam tataran ritualnya.
Dalam kenyataan sosial, ajaran agama Islam mampu mewarnai keberadaan budaya
suatu masyarakat, sehingga budaya lokal yang dianut oleh suatu masyarakat
cenderung untuk beraktualisasi dengan ajaran agama Islam di dalam tata
pelaksanaan ritualnya.[19]
Agama Islam membiarkan kearifan lokal dan produk-produk
kebudayaan lokal yang produktif dan tidak mengotori aqidah untuk tetap
eksis.Jika memang terjadi perbedaan yang mendasar, agama sebagai sebuah naratif
yang lebih besar bisa secara pelan-pelan menyelinap masuk ke dalam “dunia
lokal” yang unik tersebut. Mungkin untuk sementara akan terjadi proses
sinkretik, tetapi gejala semacam itu sangat wajar, dan in the long run, seiring
dengan perkembangan akal dan kecerdasan para pemeluk agama, gejala semacam itu
akan hilang dengan sendirinya.
Para ulama salaf di Indonesia rata-rata bersikap
akomodatif.Mereka tidak serta merta membabat habis tradisi.Tidak semua tradisi setempat berlawanan dengan
aqidah dan kontra produktif.Banyak tradisi yang produktif dan dapat digunakan
untuk menegakkan syiar Islam.Meluasnya Islam ke seluruh dunia tentu juga
melintas aneka ragam budaya lokal.Islam menjadi tidak “satu”, tetapi muncul
dengan wajah yang berbeda-beda.Hal ini tidak menjadi masalah asalkan
substansinya tidak bergeser.Artinya, rukun iman dan rukun Islam adalah sesuatu
yang tidak bisa di tawar lagi.Bentuk masjid kita tidak harus seperti
masjid-masjid di Arab.Atribut-atribut yang kita kenakan tidak harus seperti
atribut-atribut yang dikenakan bangsa Arab.Festival-festival tradisional yang
kita miliki dapat diselenggarakan dengan menggunakan acuan Islam sehingga
terjadi perpaduan yang cantik antara warna Arab dan warna lokal.Lihat saja,
misalnya, perayaan Sekaten di Yogyakarta, Festival Wali Sangan, atau perayaan 1
Muharram di banyak tempat.
Dalam benak sebagian besar orang, agama adalah produk langit
dan budaya adalah produk bumi.Agama dengan tegas mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.Sementara budaya memberi ruang gerak
yang longgar, bahkan bebas nilai, kepada manusia untuk senantiasa mengembangkan
cipta, rasa, karsa dan karyanya.Tetapi baik agama maupun budaya difahami
(secara umum) memiliki fungsi yang serupa, yakni untuk memanusiakan manusia dan
membangun masyarakat yang beradab dan berperikemanusiaan.Yang patut diamati pula,
kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan
simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai
sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia.[20]
Islam,
datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang
baik dan seimbang.Dengan demikian, Islam tidaklah datang untuk menghancurkan
budaya yang telah dianut oleh suatu masyarakat.Akan tetapi, dalam waktu yang
bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari
hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam
kehidupannya.Sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang
berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta
mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip
semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi UndangUndang Dasar (UUD) Negara
Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat
perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32,
dijelaskan: “Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan
persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang
dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi
derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”
Dari situ,
Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam yaitu:
1.
Kebudayaan yang tidak
bertentangan dengan Islam. Dalam kaidah fiqh disebutkan: “al-‘adatu
muhakkamatun” artinya bahwa adat-istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang
merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan
hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada
hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syari’at, seperti kadar besar
kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga
wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam
Islam budaya itu sah-sah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya
mahar yang harus diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan masjid,
dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk
joglo. Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kriterianya di dalam
Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan
standar hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam
sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam
Islam dengan dalil “al adatu muhakkamatun” karena nikah antaragama sudah menjadi
budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas.
Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang
wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.
2.
Kebudayaan yang sebagian unsurnya
bertentangan dengan Islam, kemudian di “rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.
Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji
dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti lafadh
“talbiyah” yang sarat dengan kesyirikan dan thowaf di Ka’bah dengan telanjang.
Islam datang untuk merekonstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “Ibadah” yang
telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk
melantunkan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap
dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai
Islam.
3.
Kebudayaan
yang bertentangan dengan Islam. Seperti, budaya “ngaben” yang dilakukan oleh
masyarakat Bali. Ngaben adalah upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan
dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini
dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali
kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar.
Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya
“tiwah”, sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “tiwah” ini dilakukan
pemakaman jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau
sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara
ini berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus
menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar, karena disaksikan oleh
para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja, untuk
memakamkan orang yang meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya
tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain
lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah, mereka mempunyai
budaya “Tumpeng Rosulan”, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul
Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut
masyarakat setempat merupakan penguasa lautan selatan (Samudra Hindia). Hal-hal
di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran
Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya,
karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada
kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan
bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan
derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta
untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah
meninggal dunia.
Dengan
demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam.
Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan
paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus
berlanjut, dan Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah rasul. Dalam
perjalanan sejarahnya, budaya lokal juga ikut mempengaruhi corak kebudayaan
Islam.Istilah budaya Islam Syar`i digunakan untuk membedakan bentuk pemahaman
dan pengamalan nabi atas agama yang belum dipengaruhi oleh budaya Jahiliyah
(unsur-unsur budaya lokal).[21]
C.
KESIMPULAN
Kebudayaan
diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. ada pendapat yang
mengatakan bahwa kebudayaan berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah akal
yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan.Sedangkan daya berarti perbuatan
atau ikhtiar sebagai unsur jasmani sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil
dari akal dan ikhtiar manusia. Budaya lokal lebih
diartikan sebagai wujud tradisi, kebiasaan, nilai-nilai norma, bahasa,
keyakinan, dan berpikir yang terpola dalam suatu masyarakat dan diwariskan dari
generasi ke generasi serta memberikan identitas pada komunitas pendukungnya
yang berlaku di wilayah tertentu (Indonesia).
Agama Islam adalah sebagai tatanan hidup meliputi seluruh aspek hidup
dankehidupan, dari mulai masalah ritual sampai kepada masalah muamalahtermasuk
masalah sosial budaya, sosial ekonomi, sosial politik, bahkansampai kepada
masalah kenegaraan.
Islam,
datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang
baik dan seimbang. Dengan demikian, Islam tidaklah datang untuk
menghancurkan budaya yang telah dianut oleh suatu masyarakat.Akan tetapi, dalam
waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan
terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam
kehidupannya.Sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang
berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta
mempertinggi derajat kemanusiaan.
D.
REFERENSI
Agung Setiyawan,”Budaya Lokal Dalam Perspektif Agama”, EsensiaXIII
,No. 2, (2012).
Al Ikhlas, Pendidikan
Agama Islam, Zizi Publisher.
Badrudin,”Antara Islam Dan Kebudayaan”, Fisafat Islam, bagian 2
Budiyanto, Pengantar Pendidikan Inklusif
Berbasis Budaya Lokal, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2017).
Dayakisni, Psikologi
Lintas Budaya, (Malang: UMM Press, 2004).
Deni Miharja,” Persentuhan Agama Isam Dengan
Kebudayaan Asli Indonesia”, Miqot, XXXVIII No. 1 Januari-Juni (2014).
Dewi Yuliati, “Kebudayaan Lokal Versus
Kebudayaan Global: Hidup atau Mati”, Jurnal Sejarah CITRA LEKHA XI, No.
1 (2007).
Jacobus Ranjabar, SistemSosial Budaya
Indonesia; Suatu Pengantar, (Bogor: GHalia Indonesia, 2006).
Koenjaraningrat, Kebudayaan Melintas dan
Pembangunan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993).
Lubis,
Syukri Azwar. 2019. Materi Pendidikan Agama Islam. Surabaya, Media Sahabat
Cendekia.
Nurjaman,
Asep Rudi. 2020. Pendidikan Agama Islam. Jakarta, Bumi Aksara.
Soekanto,
Sosiologi; Suatu Pengantar, (Makasar: Raja Grando, 1982).
Wahyudin, Dkk. 2009.
Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Grasindo.
[1]Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar,
(Makasar: Raja Grando, 1982), 150.
[2] Dayakisni, Psikologi Lintas Budaya,
(Malang: UMM Press, 2004), 289.
[3]Koenjaraningrat, Kebudayaan Melintas
dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), 9.
[4]Koenjaraningrat, Kebudayaan Melintas
dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), 5.
[5] Jacobus Ranjabar, SistemSosial Budaya
Indonesia; Suatu Pengantar, (Bogor: GHalia Indonesia, 2006), 21.
[6] Dewi Yuliati, “Kebudayaan Lokal Versus
Kebudayaan Global: Hidup atau Mati”, Jurnal Sejarah CITRA LEKHAXI, No. 1
(2007): 1.
[7] Budiyanto, Pengantar Pendidikan
Inklusif Berbasis Budaya Lokal, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2017), 92-93.
[8] Syukri Azwar Lubis. Materi Pendidikan
Agama Islam. Surabaya, Media Sahabat Cendekia. 2019, 2
[9] Wahyudin, Dkk.
Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Grasindo, 2009, 12
[10] Al Ikhlas, Pendidikan
Agama Islam, Zizi Publisher, 32
[11] Al Ikhlas, Pendidikan Agama Islam, Zizi
Publisher, 33
[12] Al Ikhlas, Pendidikan Agama Islam, Zizi
Publisher, 36
[13] Wahyudin, Dkk. Pendidikan Agama Islam
Untuk Perguruan Tinggi. Grasindo, 2009, 16
[14]
Asep Rudi Nurjaman. Pendidikan Agama Islam. Jakarta, Bumi Aksara. 2020,
9
[15] Wahyudin, Dkk. Pendidikan Agama Islam
Untuk Perguruan Tinggi. Grasindo, 2009, 16
[16] Asep Rudi Nurjaman. Pendidikan Agama
Islam. Jakarta, Bumi Aksara. 2020, 9
[17] Wahyudin, Dkk. Pendidikan Agama Islam
Untuk Perguruan Tinggi. Grasindo, 2009, 16
[18] Asep Rudi Nurjaman. Pendidikan Agama
Islam. Jakarta, Bumi Aksara. 2020, 13
[19] Deni Miharja,” Persentuhan Agama Isam
Dengan Kebudayaan Asli Indonesia”, Miqot, XXXVIII No. 1 Januari-Juni
(2014).
[20] Agung Setiyawan,”Budaya Lokal Dalam
Perspektif Agama”, Esensia XIII ,No. 2,(2012)
[21] Badrudin,”Antara Islam Dan
Kebudayaan”, Fisafat Islam, bagian 2
Berikan Komentar untuk "MAKALAH KESELARASAN AGAMA ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL JAWA"
Posting Komentar