Manuskrip Kuno Nusantara Sebagai Potret Akulturasi Islam Dan Budaya Lokal Dalam Tradisi Tulisan
ABSTRAK
Indonesia
dihuni bangsa yang memiliki aneka seni dan budaya. Salah satu produk budaya
khas Nusantara adalah manuskrip atau naskah kuno. Manuskrip kuno tersebar di
berbagai kota di Indonesia. Di berbagai kota di Jawa banyak ditemukan berbagai
sastra Jawa dan naskah pesantren. Beberapa kota di Sumatera banyak ditemukan
berbagai manuskrip naskah Melayu dari tasawuf hingga sastra Melayu, dan
beberapa daerah lainnya yang mencerminkan jaringan ilmu dan ulama Nusantara.
Naskah Islam Nusantara merupakan salah satu warisan Islam yang tidak ternilai
di negeri ini. Banyak naskah kuno Nusantara yang ditulis dalam bahasa Arab,
maupun yang ditulis dengan aksara Arab seperti Pegon ataupun Jawi, meski tidak
menggunakan bahasa Arab. Makalah ini akan membahas mengenai manuskrip sebagai
potret akulturasi antara budaya lokal dengan agama Islam di Indonesia.
Kata Kunci: Budaya, Manuskrip, Islam.
A.
Pendahuluan
Kehadiran Islam di
Nusantara tak lepas dari proses dakwah Islam yang menyebar dari wilayah Timur
Tengah melalui berbagai jalur, seperti perdagangan, pendidikan, maupun sosial
budaya. Dalam konteks pendidikan, proses penanaman ajaran dan nilai Islam yang
luhur dalam kehidupan masyarakat Nusantara dilakukan melalui dakwah dan lembaga
pendidikan. Dalam konteks sosial-budaya, proses dakwah dan pendidikan umat itu
dilakukan oleh para ulama melalui berbagai pendekatan agar bisa masuk dan
diterima oleh masyarakat setempat di mana mereka berdakwah. Proses itu kemudian
berlangsung secara luas di berbagai penjuru Nusantara, dari wilayah barat
sampai ke wilayah timur. Penyebaran dakwah Islam di Nusantara tak pelak membawa
serta bahasa Arab sebagai bahasa pengantar agama Islam yang ikut menyebar luas
di Nusantara. Penggunaan bahasa Arab dalam konteks dakwah Islam tidak hanya
terbatas pada topik maupun wacana ritual keislaman semata, tetapi juga merambah
sampai wacana keilmuan Islam dan juga keilmuan bahasa Arab itu sendiri. Hal itu
tak terlepas dari sumber pustaka berbahasa Arab yang dibawa oleh para ulama
dari negeri asalnya, Timur Tengah.
Alhasil, penyebarluasan
bahasa Arab berjalan seiring dengan penyebarluasan Islam ke tengah masyarakat
Nusantara. Sehubungan dengan hal itu, para ulama di Nusantara tidak hanya
memasyarakatkan bahasa Arab melalui wacana keislaman yang mereka sebarluaskan
melalui dakwah. Sebagian dari mereka bahkan ada yang produktif menulis karya
maupun literatur dalam berbagai bidang, seperti keislaman, sejarah, sosial,
budaya, dan tak ketinggalan sastra dengan menggunakan bahasa Arab. Selain
menggunakan bahasa Arab, beberapa karya dan literatur ditulis dengan aksara
Arab meski tidak menggunakan bahasa Arab, tetapi menggunakan bahasa lokal.
Tradisi intelektual yang sangat menarik itu telah berlangsung sekian lama dan
menyebar luas di beberapa daerah. Banyak di antara karya-karya monumental itu
yang kini menjadi manuskrip istimewa dan bahkan masih diajarkan oleh para ulama
generasi terkini kepada masyarakat lokal. Meski beberapa karya dalam bahasa
ataupun tulisan Arab tersebut ditulis oleh ulama keturunan Arab, ada pula karya
yang ditulis oleh ulama asli pribumi, bukan keturunan Arab. Hal itu juga
menjadi keistimewaan tersendiri dalam tradisi keilmuan dan keislaman di
Indonesia, karena menggambarkan suatu kekayaan khazanah budaya yang unik dan
patut dibanggakan oleh umat Islam di Indonesia khususnya.
Untuk itulah makalah ini disajikan untuk mengungkap sejauh mana
apresiasi kita terhadap warisan Islam yang begitu besar di bumi Nusantara
Indonesia agar terjadi kesinambungan sekaligus menjembatani antara budaya lama
dengan budaya baru.
Dari deskripsi di atas
maka penulis ingin mengkaji beberapa masalah, yaitu:
1.
Apa pengertian dari
manuskrip atau naskah kuno?
2.
Bagaimana akulturasi
agama Islam dengan Budaya lokal di Indonesia?
3.
Mengapa manuskrip kuno
Nusantara dikatakan sebagai potret akulturasi agama Islam dengan Budaya lokal?
B.
Hasil dan Pembahasan
1. Pengertian Manuskrip kuno
Secara etimologis, manuskrip diartikan
sebagai sesuatu yang ditulis tangan. Istilah manuskrip erat kaitannya dengan
zaman dahulu, namun tidak harus menulis kemudian diserahkan ke seorang penulis
ke penerbit. The Antiquities and Art Treasure Act meletakkan kerangka
hukum untuk hak asuh masnuskrip. Benda-benda purbakala yang didefinisikan
dibawah undang-undang tersebut.[1]
Naskah klasik dalam bahasa Belanda disebut handschrift/
handschriften, disingkat HS/HSS, dan dalam bahasa Inggris disebut manuscript/manuscripts,
disingkat MS/MSS. Dari istilah bahasa asing tersebut, sangat jelas bahwa yang
dimaksud dengan handschrift atau manuscripts yaitu naskah yang
ditulis tangan. Naskah dari masa lampau itu ada yang disebut “naskah kuno” ada
pula yang dapat digolongkan sebagai “naskah klasik”. Istilah klasik biasanya
dipakai dalam hubungan dengan Yunani dan Romawi kuno, misalnya sastra, musik,
arsitektur, patung, dan lain-lain, tetapi pada prinsipnya sesuatu yang mempunyai
keunggulan atau contoh terbaik. Jadi, naskah klasik merupakan sub-kategori
hasil pemilahan dari kategori-kategori pernaskahan berdasarkan penelitian
secara sistematis dan ilmiah.
Manuskrip atau naskah kuno merupakan salah
satu peninggalan budaya yang menjadi khazanah setiap bangsa di dunia. Zaman
dulu dikenal dengan budaya menulis yang kuat dan kental. Hasil dari
tulisan-tulisan tangan atau diketik tersebutlah yang menjadi dokumen yang
disebut manuskrip. Menurut UU Cagar Budaya No. 5 Tahun 1992 pada Bab I pasal 2
disebutkan bahwa naskah kuno atau manuskrip merupakan dokumen dalam bentuk
apapun yang ditulis tangan atau diketik yang belum dicetak atau dijadikan buku
tercetak yang berumur 50 tahun lebih.
Manuskrip atau naskah kuno adalah koleksi langka yang dimiliki oleh
setiap bangsa di dunia, termasuk di Indonesia.
Setiap bangsa dapat melihat perjalanan
hidup bangsanya melalui naksah-naskah yang telah ditulis. Indonesia sebagai
bangsa yang memiliki banyak corak budaya dari sabang sampai merauke pasti memiliki
catatan tentang kehidupan masyarakatnya, sosial budaya, adat istiadat,
pemerintahan dan lain sebagainya. Naskah ini sangat penting dijaga
kelestariannya. Hal ini karena naskah kuno tersebut adalah peninggalan masa
lampau yang berisi segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan atau kondisi
yang berbeda dengan kondisi saat ini. Naskah kuno juga memiliki berbagai
informasi yang luar biasa dari berbagai bidang seperti pada bidang sastra,
agama, hukum, sejarah, adat istiadat dan lain sebagainya. Adanya informasi yang
ada di dalam naskah akan membantu para ahli sejarah dalam menemukan informasi
dan memperkaya kajiannya mengenai sesuatu yang ditelitinya.
Sehubungan dengan itu, pengertian naskah
klasik dianalogikan dengan hasil seni sastra klasik, seperti yang pernah
dikemukakan V.I. Braginsky dalam buku The System of Classical Malay
Literature yang membagi Sejarah Kesusastraan Pertengahan atas tiga masa:
1)
Kesusastraan Melayu Kuno
(Masa Indianisasi Kerajaan-Kerajaan di Sumatera dan Semenanjung Melayu), meliputi
waktu dari Abad ke-7 Masehi sampai awal medio abad ke-14.
2)
Kesusastraan Awal Islam,
dari awal medio abad ke-14 sampai medio abad ke-16.
3)
Kesusastraan Klasik,
dari awal medio abad ke-16 sampai medio abad ke-19.
Dari kategorisasi ini, Dr Uka Tjandrasasmita
menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan naskah klasik ialah naskah tulisan
tangan dari awal medio abad ke-16 sampai medio awal abad ke-19. [2]
2.
Akulturasi agama Islam dengan budaya lokal di
Indonesia
A.
Bentuk Akulturasi Islam dan Budaya Lokal di
Indonesia
Secara etimologi, menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, akulturasi adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling
bertemu dan saling memengaruhi atau proses masuknya pengaruh kebudayaan asing
dalam suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak
unsur kebudayaan asing itu.
Secara terminologi, pengertian akulturasi banyak
dikemukakan oleh para ahli, di antaranya:
a.
Menurut Diaz dan Greiner dalam Nugroho dan Suryaningtyas, Akulturasi
merupakan suatu tingkat dimana seorang individu mengadopsi nilai, kepercayaan,
budaya dan praktik-praktik tertentu dalam budaya baru.
b.
Erni Budiwanti berpendapat bahwa, Akulturasi adalah proses perubahan
sosial yang timbul pada kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu di
hadapan unsur-unsur kebudayaan asing dalam jangka waktu yang lama dan
terus-menerus sehingga lambat laun kebudayaan asing dan kebudayaan lokal dapat
menjadi satu tanpa harus menghapus salah satunya.
Berdasarkan pendapat para ahli mengenai
akulturasi, dapat dipahami bahwa akulturasi merupakan hasil integrasi budaya
asing ke dalam budaya kelompok tertentu (lokal) melalui interaksi, sehingga
unsur-unsur kebudayaan asing diterima dan diolah dalam kebudayaannya sendiri
tanpa menghilangkan karakteristik budaya lokal itu.
Melalui pengertian akulturasi ini, maka dalam
konteks masuknya Islam ke Nusantara (Indonesia) dan dalam perkembangan
selanjutnya telah terjadi interaksi budaya yang saling memengaruhi. Namun dalam
proses interaksi itu, pada dasarnya kebudayaan setempat masih tetap kuat,
sehingga terdapat perpaduan budaya asli (lokal) Indonesia dengan Islam.
Perpaduan inilah yang kemudian disebut akulturasi kebudayaan.
1.
Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Acara Adat
Masuknya nilai-nilai Islami dalam acara adat,
dapat dilihat dari praktik ritual dalam budaya populer di Indonesia. Salah
satunya digambarkan oleh Kuntowijoyo dalam Upacara Pangiwahan di Jawa
Barat. Upacara ini dimaksudkan agar manusia dapat menjadi wiwoho
(mulia). Berangkat dari pemahaman ini, masyarakat harus memuliakan kelahiran,
perkawinan, kematian, dan sebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai
kemuliaan hidup manusia ini jelas-jelas diwarnai oleh konsep ajaran Islam yang
memandang manusia sebagai makhluk yang mulia.[3]
Makna filosofis dalam acara dan upacara adat
disisipi dengan nilai-nilai Islami. Misalnya, persembahan sesajen untuk memohon
keselamatan dari Yang Maha Kuasa pada kelompok masyarakat tertentu diganti
menjadi acara selamatan berupa doa dengan menyiapkan makanan yang disiapkan
untuk para hadirin. Masyarakat Bugis menyebutnya mabbaca doang salama.
2.
Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Seni dan Konstruksi Bangunan
a. Seni
1)
Kaligrafi menjadi kesenian arab yang menghiasi dinding mesjid di
Indonesia. Bahkan dalam perkembangannya kaligrafi telah menghiasi dinding rumah
dan madrasah.
2)
Wayang dan gamelang adalah satu paket yang lengkap, antara media
bermain beserta alat musiknya. Keduanya merupakan kebudayaan asli dari
Indonesia yang berfungsi untuk mempermudah penyebaran Islam.
3)
Tari Seudati berasal dari Aceh, nama lain tarian ini adalah tari
Saman. Asal kata Seudati adalah Syaidati yang berarti permainan orang-orang
besar, disebut tari Saman karena mula-mula dimainkan delapan orang dengan lagu
tertentu berupa shalawat.[4]
b.
Konstruksi Bangunan
Akulturasi dalam konstruksi bangunan dapat
dilihat dari model masjid di Indonesia yang beragam dan mempunyai bentuk khas.
Misalnya masjid Demak, model atau bentuk bangunannya menyerupai pendopo bujur
sangkar. Selain itu atap masjid berbentuk tumpang dengan jumlah ganjil tiga
yang mirip pura tempat peribadatan Hindu sebagai kepercayaan masyarakat lokal
sebelum datangnya Islam. Pola arsitektur masjid ini tidak dikenal di kawasan
dunia muslim lainnya.
3.
Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Konsepsi Sosial
Akulturasi Islam dan budaya lokal juga tergambar
dalam konsepsi sosial masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada praktik muamalah
dan masuknya syari’at sebagai falsafah hidup masyarakat lokal. Sulawesi
misalnya, Mattulada mengungkapkan bahwa dalam aspek Pangadereng (Bugis)
atau Pangngadakkang (Makassar), dikenal 5 (lima) unsur pokok yang
dikembangkan masyarakat Bugis-Makassar dalam berinteraksi dan berdinamika,
yaitu (1) ade’, (2) bicara, (3) rapang, (4) wari’,
dan (5) sara’.[5]
Kelima unsur tersebut merupakan tata nilai pergaulan bagi masyarakat
Bugis-Makassar, terutama unsur pokok kelima yang masuk terakhir, yaitu sara’.
Hal ini menggambarkan dan menandakan masuknya Islam ke dalam tata kehidupan
masyarakat Sulawesi Selatan.
Berdasarkan lingkup yang lebih luas, syariat
telah masuk dalam regulasi nasional. Ini terbukti dengan dilindunginya
pelaksanaan syariat. Bahkan ada syariat yang diundangkan, seperti zakat dan
nikah.
B.
Proses Akulturasi Islam dan Budaya Lokal di
Indonesia
1.
Universalitas Islam
Universalitas Islam menampakkan diri dalam
berbagai manifestasi penting, dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya.
Ajaran Islam yang mencakup aspek akidah, syari’ah dan akhlak, sering kali
disempitkan oleh sebagian masyarakat menjadi hanya kesusilaan dan sikap hidup,
padahal lebih dari itu, yaitu menampakkan perhatian ajaran Islam yang sangat
besar terhadap persoalan utama kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat dari enam
tujuan umum syari’ah yaitu; menjamin keselamatan agama, badan, akal, keturunan,
harta dan kehormatan. Selain itu risalah Islam juga menampilkan nilai-nilai
kemasyarakatan (social values) yang luhur, sehingga bisa dikatakan
sebagai tujuan dasar syari’ah yaitu; keadilan, ukhuwwah, takāful,
kebebasan dan kehormatan.[6]
Semua ini akhirnya bermuara pada keadilan sosial dalam arti sebenarnya.
Universalitas Islam dapat dipahami secara lebih
jelas melalui sifat al-waqi’iyyah (berpijak pada kenyataan objektif
manusia). Ajaran Islam bukanlah agama “baru”, melainkan agama yang sudah
dikenal dan dijalankan oleh umat manusia sepanjang zaman, karena sejak semula
telah terbit dari fitrahnya sendiri. Islam sebagai agama yang benar, agama yang
sejati, mengutamakan perdamaian, serta rahmah li al-‘ālamīn, sehingga
mampu mengakomodasi semua kebudayaan dan peradaban manusia di seluruh dunia.
2.
Dukungan Sosial dan Kebutuhan Afiliasi Budaya Lokal
a.
Dukungan Sosial
Menurut Rook dalam Kumalasari dan Ahyani, bahwa
dukungan sosial merupakan salah satu fungsi dari ikatan sosial, dan
ikatan-ikatan tersebut menggambarkan tingkat kualitas umum dari hubungan
interpersonal. Ikatan dan persahabatan dengan orang lain dianggap sebagai aspek
yang memberikan kepuasan secara emosional dalam kehidupan individu.
Lebih rinci Sarafino menyebutkan empat jenis
dukungan sosial, yaitu:
1)
Dukung emosional, dukungan ini melibatkan ekspresi rasa empati dan
perhatian terhadap individu, sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai
dan diperhatikan. Dukungan ini meliputi perilaku seperti memberikan perhatian
dan afeksi serta bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain.
2)
Dukungan penghargaan, dukungan ini melibatkan ekspresi yang berupa
pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap ide-ide, perasaan dan performa
orang lain.
3)
Dukungan instrumental, bentuk dukung ini melibatkan bantuan langsung,
misalnya yang berupa bantuan finansial atau bantuan dalam mengerjakan
tugas-tugas tertentu.
4)
Dukungan informasi, dukungan yang bersifat informasi ini dapat berupa
saran, pengarahan dan umpan balik tentang bagaimana cara memecahkan persoalan.[7]
Berdasarkan jenis dukungan sosial tersebut,
kemudian dikaitkan dengan penyebaran Islam di nusantara, akulturasi Islam dan
budaya lokal terjadi salah satunya karena dukungan sosial terhadap masyarakat
lokal (pribumi). Baik dari para pedagang yang menyiarkan Islam, ulama yang
mendakwahkan Islam, terlebih dukungan pemerintah yang telah memeluk Islam.
Tidak hanya itu, pernikahan putri raja dengan ulama Islam semakin membuka lebar
interaksi Islam dengan budaya lokal.
b.
Kebutuhan Afiliasi
Menurut Murray kebutuhan berafiliasi terkait
dengan kecenderungan untuk membentuk pertemanan dan bersosialisasi, serta
berinteraksi secara dekat dengan orang lain. Kebutuhan bekerja sama dan
berkomunikasi dengan orang lain secara bersahabat. McClelland mengatakan bahwa
kebutuhan afiliasi adalah kebutuhan akan kehangatan dan sokongan dalam
hubungannya dengan orang lain, kebutuhan ini mengarahkan tingkah laku untuk
mengadakan hubungan secara akrab dengan orang lain. Di dalam kebutuhan afiliasi
itu sendiri terkandung keinginan untuk membentuk dan mempertahankan beberapa
hubungan interpersonal yang memberikan ganjaran. Lebih lanjut McClelland
memaparkan aspek-aspek kebutuhan afiliasi, yaitu:
1)
Lebih suka bersama orang lain dari pada sendirian
2)
Sering berinteraksi dengan orang lain
3)
Ingin disukai dan diterima oleh orang lain
4)
Menyenangkan hati orang lain
5)
Menunjukkan dan memelihara sikap setia terhadap teman
6)
Mencari persetujuan dan kesepakatan orang lain.[8]
Berdasarkan aspek-aspek afiliasi tersebut, bila
dikaitkan dengan histori penyebaran Islam di nusantara melalui pedagang muslim,
kebutuhan interaksi dengan orang asing, disukai dan diterima oleh orang asing,
membutuhkan regulasi baru yang dapat disepakati sehingga relasi dagang tetap
terjaga. Prinsip ekonomi dalam Islam dianggap dapat menjadi regulasi yang
disepakati karena memenuhi rasa keadilan dengan saling menguntungkan dan saling
meridai. Kebutuhan afiliasi ini kemudian membuat masyarakat lokal lebih terbuka
terhadap kebudayaan yang dibawa oleh para pedagang penyiar Islam. Namun apa
yang menjadi prinsip dasar dari budayanya tetap dijaga.
3.
Integrasi Islam ke dalam Budaya Lokal
Sebagaimana pembahasan sebelumnya, Islam adalah
agama yang berkarakteristik universal, dengan pandangan hidup mengenai
persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep
teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari
seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam.[9]
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan
konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan
akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan
teknis pelaksanaan.
Upaya rekonsiliasi antara agama dan budaya di
Indonesia memang wajar dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak
bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau
akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut
diambil dari konsep ‘Meru’ dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari
sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini
melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan.
Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika
telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih
tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat.[10]
Patut diamati pula, kebudayaan populer di
Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam,
sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang
penting dalam kebudayaan populer di Indonesia. Selain itu, penyebaran Islam di
nusantara menggunakan pendekatan tasawuf (mistik Islam). Ini sangat sesuai
dengan pemikiran masyarakat lokal yang animisme dan dinamisme. Secara perlahan
dan bertahap, tanpa menolak dengan keras budaya masyarakat, Islam
memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat.
Persamaan derajat dalam Islam sangat menarik bagi
masyarakat lokal. Sebab dalam masyarakat Hindu-Jawa sangat menekankan perbedaan
derajat. Kebutuhan afiliasi masyarakat untuk diakui, dihargai, dan melepaskan
diri dari penjajahan koloni. Panggilan Islam kemudian menjadi dorongan untuk
mengambil alih kekuasaan politik dari tangan penguasa Hindu-Jawa (Majapahit),
dan menjadi pemersatu bangsa dalam melepaskan diri dari penjajah.
Realitas keragaman umat Islam Indonesia
mengindikasikan bahwa di segala penjuru negeri kepulauan ini pemahaman tentang
ajaran-ajaran Islam sangat bervariasi yang terpengaruh oleh budaya pra Islam.
Sebelum Islam datang, berbagai macam adat kuno dan kepercayaan lokal banyak
dipraktikkan sehingga sangat menyatu dengan struktur sosial. Pada sebagian
besar daerah, kedatangan Islam dengan jalan damai bukan penaklukan, maka secara
umum dapat dikatakan bahwa Islam tidak menggantikan atau menghancurkan tradisi
budaya yang sudah lama ada, tetapi memadukan dengan tradisi yang sudah ada.[11]
Tradisi berupa pakaian adat kemudian
bertransformasi menjadi baju adat yang Islami. Ada upaya menutup aurat dengan
model pakaian yang tidak menghilangkan unsur budayanya. Selain itu, dalam hal
penggunaan istilah-istilah yang diadopsi dari Islam, tentunya perlu membedakan
mana yang “Arabisasi”, mana yang “Islamisasi”. Penggunaan term-term Islam
sebagai manifestasi simbolik dari Islam tetap penting.
Pertemuan Islam dengan budaya lokal nusantara
dengan kekhasan karakteristiknya yang membutuhkan afiliasi dan mendapat
dukungan sosial untuk berkembang mengakibatkan pertautan nilai yang tidak
terhindarkan. Dalam pertautan antara nilai-nilai Islam dengan budaya lokal
inilah ditemukan suatu perubahan yang signifikan, yaitu bergesernya tradisi
lokal menjadi tradisi Islam lokal atau tradisi Islam dalam konteks
lokalitasnya. Perubahan ini mengarah kepada proses akulturasi dan bukan
adaptasi, sebab di dalam perubahan itu tidak terjadi proses saling meniru atau
menyesuaikan, akan tetapi mengakomodasi dua elemen menjadi satu kesatuan yang
baru. Tentunya ada unsur yang dimasukkan dan ada unsur yang dibuang. Salah satu
yang tampak jelas merepresentasikan nilai-nilai Islam misalnya berupa pembacaan
ayat-ayat suci Alquran, shalawat, serta doa dalam berbagai variasinya.
3.
Manuskrip Nusantara: Potret Akulturasi agama
Islam dan Budaya Lokal
Indonesia dihuni bangsa yang memiliki aneka seni
dan budaya. Salah satu produk budaya khas Nusantara adalah naskah kuno. Maka
menjadi sebuah keniscayaan menjadikannya sebagai bagian dari sumber utama dalam
meneguhkan Islam Nusantara. Manuskrip kuno merupakan salah satu media komunikasi
pada masa silam di wilayah nusantara yang banyak mengandung kekayaan informasi
yang melimpah. Diantara berbagai kategori naskah Nusantara, naskah keislaman
merupakan salah satu jenis kategori naskah yang jumlahnya relatif banyak.
Karya-karya para ulama inilah yang menjadi khazanah budaya bangsa yang tak
terhingga pada hari ini. Hal ini tidak terlalu mengherankan, mengingat
kenyataan bahwa ketika Islam dengan segala kekayaan budayanya masuk di wilayah
Nusantara, dan budaya tulis-menulis (wilayah Melayu-Indonesia) sudah relatif
mapan, sehingga ketika terjadi persentuhan antara Islam dan budaya tulis
menulis tersebut, terjadilah proses akulturasi antara budaya lokal dengan agama
Islam di Nusantara. Melalui manuskrip tersebut, para ilmuan pada abad-abad silam
mentransmisikan ilmu pengetahuan dan mewariskannya kepada generasi ke generasi.
Oleh karenanya pantas dikatakan bahwa manuskrip-manuskrip kuno yang ada di
Nusantara tersebut berfungsi sebagai potret akulturasi agama Islam dengan
budaya lokal.
Naskah-naskah klasik di Indonesia paling banyak
tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Salah satu jenis
manuskrip atau naskah klasik keagamaan yang relatif terbanyak adalah naskah
keagamaan Islam, mengingat sejarah bahwa ketika Islam dengan segala kekayaan
budayanya masuk di wilayah nusantara pada umumnya, dan di wilayah
Melayu–Indonesia pada khususnya, budaya tulis-menulis sudah relatif mapan. Oleh
karena itu, keberadaan naskah klasik keagamaan Islam tersebar di seluruh
wilayah Nusantara, bahkan ada di negara-negara lain, seperti Belanda, Malaysia,
Filipina, dan negara lainnya. Naskah-naskah tersebut berbicara mengenai
persoalan tauhid, tasawuf, tarekat, fiqih, hadis, mengungkap keadaan masa lalu,
baik sistem sosial, ekonomi, politik, maupun budaya para raja di Nusantara dan
tema-tema lainnya yang masih menjadi pedoman dan acuan kehidupan keagamaan di
Indonesia sampai saat ini.[12]
Sejak pusat dan jaringan Islam bermunculan di
Nusantara, banyak ulama mengajar Islam di daerahnya masing-masing. Beberapa
ulama juga berkeliling dari satu tempat lain. mereka juga mendirikan
pusat-pusat pertemuan bagi penulis Muslim. Disana mereka menulis karya-karya
dalam berbagai bidang studi Islam atau menerjemahkan buku ke dalam bahasa
Melayu, dan kemudian menyebarkan karya-karya tersebut ke daerah-daerah di
Nusantara. Jadi, banyak risalah tentang subjek Islam yang diproduksi bagi
pembaca Muslim dan pelajar di daerah-daerah ini. Risalah yang ditulis tersebut
bukan hanya karya agama, namun juga karya sastra dalam bahasa Melayu.
Karya-karya ini membawa pesan Islam ke penduduk Melayu Nusantara dan
menyebabkan terjadinya komunikasi interkomunitas.
Diterimanya agama Islam oleh sebagian besar
penduduk Nusantara membawa serta suatu akulturasi dengan masyarakat pribumi.
Islam diterima tidak hanya sebagai agama, tetapi juga dengan berbagai unsur
bawaannya: bahasa Arab dengan tulisannya, kesusastraan serta adat-istiadat
tanah asalnya.[13]
Dan periode abad ke-16 dan ke-17 dapat dipandang sebagai periode penting dalam
pembentukan tradisi intelektual dan politik Islam di Asia Tenggara. Kendati
metode penulisan, penyalinan, dan penjilidan masih sederhana, ide-ide Islam
lambat-laun menyebar.
Kedatangan Islam di kepulauan Nusantara merupakan
ciri zaman baru dalam sejarah yang dengan tegas membawa rasionalisme dan
pengetahuan akal serta menegaskan suatu sistem masyarakat yang berdasarkan
kebebasan orang perorangan, keadilan, dan kemuliaan kepribadian manusia.
Semangat rasionalisme dan intelektualisme Islam tersebar di kalangan istana dan
kraton sampai kepada kalangan rakyat jelata. Hal itu dapat ditemukan
bukti-bukti dan naskah-naskah yang berisi filsafat dan metafisika yang khusus
ditulis untuk keperluan umum. Praktik mistik Budha memperoleh nama-nama Arab.
Raja-raja Hindu mengalami perubahan gelar untuk menjadi sulthan-sulthan Islam,
dan orang awam menyebut beberapa roh hutan mereka dengan istilah jin. Ada
beberapa judul naskah yang berdasaran Islam, kata-kata Arab atau Persia masuk
ke dalam karya sastra Melayu.[14]
Masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara
tidaklah kaku ketika berhadapan dengan persoalan keagamaan sebagai ritual yang
mewarnainya saja. Islam yang dekat dengan budaya dan kultur Arab hadir dengan
membawa perangkat keilmuan yang tidak dapat dipisahkan dalam perjalanannya.
Yang sangat urgen dan berdampak dalam proses Islamisasi tersebut adalah aksara
yang menjadi media penyampaian ilmu. Penggunaan bahasa dan aksara Arab dalam
manuskrip Nusantara memiliki sejarahnya sendiri. Pada masa berlangsungnya
proses Islamisasi kepulauan Melayu dalam kurun waktu yang sangat panjang pada
paruh kedua abad ke-13, banyak terjadi pengadopsian dan penggunaan kosa kata
bahasa Arab dalam berbagai manuskrip.
Salah satu bukti nyata yang menunjukan hal itu adalah banyak
ditemukannya historiografi Islam di semenanjung kawasan ini, termasuk di
dalamnya mencakup wilayah Nusantara. Penggunaan istilah “Nusantara” sendiri
sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari istilah “Melayu”, khususnya dalam
kaitan dengan perkembangan aksara dan bahasa di kedua kawasan. Menurut hubungan
sejarah dan letak geografis diduga kuat, bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa
yang awalnya digunakan di suatu daerah di Sumatera bagian Timur yang kemudian
disebarluaskan oleh para imigran ke beberapa daerah sekitarnya, seperti Malaka,
kepulauan Riau, dan kepulauan Lingga.[15]
Sebagai sesuatu yang amat berharga, keberadaan
manuskrip yang ditulis dalam bahasa Arab atau menggunakan aksara Arab merupakan
bukti keberlangsungan sejarah panjang tradisi keilmuan dan keislaman di
Indonesia Sejarah memperjelas bahwa pernah adanya hubungan intelektual secara
langsung antara ulama-ulama Nusantara terkemuka kisaran tengah abad ke-15 M
dengan para ulama Timur Tengah di mulai dengan adanya halaqah ilmiah seputar
agama dan lain-lain. Keterpengaruhan secara kultur, budaya dan bahasa yang di
pakai selama berjalannya halaqah tersebut, menumbuhkan ciri khas tersendiri
bagi karakter tulisan para ulama Nusantara kita dalam menuangkan ide dan
pikiran mereka di tanah air. Tampak jelas bahwa tulisan Arab seperti yang kita kenal
saat ini sebagai skrip huruf Pegon dan Jawi salah satu muatan teksnya terdiri
dari beberapa kategori tulisan seperti yang dikenal dengan sebutan matan
berpola nazham yang berbait sebagaimana dikenal dengan sebutan syair dan narasi
berupa komentar.
Sejauh pengamatan yang pernah dilakukan oleh para
filolog, naskah berbahasa dan beraksara Arab berjumlah ribuan dan tersebar di
beberapa titik koleksi perpustakaan dan museum, baik di dalam ataupun luar
negeri. Sebut saja untuk koleksi dalam negeri, terdapat kisaran 1000 buah
naskah Arab di Perpustakaan Nasional (PNRI) Jakarta dan kisaran 400 naskah di
Dayah Tanoh Abee, Seulimeum, Aceh. Naskah-naskah di Tanoh Abee mendapat
perhatian khusus karena dalam konteks keagamaan (Islam) menggambarkan dasar
pendidikan agama di Aceh pada abad ke-19. Selain di dalam negeri, salah satu
bukti adanya koleksi manuskrip berbahasa dan beraksara Arab di luar negeri
dengan tersedianya koleksi yang tersimpan antara lain di Universiteits
Bibliotheek, Leiden, Belanda.[16]
Untuk teks-teks keislaman ini setidaknya dapat
dibagi menjadi tiga kelompok besar:
a)
Teks-teks yang memuat nilai keagamaan, seperti teks teologi (tauhid),
fikih, tasawuf, dan lainnya;
b)
Teks-teks yang memuat nilai kesejarahan, seperti adat-istiadat, hukum,
dan mitologi, mencakup teks-teks sejarah Islam, hukum-hukum
(perundang-undangan) atau tatacara dan astrologi yang dipengaruhi oleh Islam
serta kisah-kisah orang suci dalam Islam (ulama/wali), termasuk adatistiadat,
hukum dan mitologi, dan
c)
Teks-teks yang memuat nilai susastra, mencakup roman-roman atau
epos-epos Islam, seperti cerita Menak Amir Hamzah, Roman Yusuf, atau cerita
Johar Manika.
C.
Kesimpulan
Manuskrip
atau naskah kuno merupakan salah satu peninggalan budaya yang menjadi khazanah
setiap bangsa di dunia. Zaman dulu dikenal dengan budaya menulis yang kuat dan
kental. Hasil dari tulisan-tulisan tangan atau diketik tersebutlah yang menjadi
dokumen yang disebut manuskrip. Menurut UU Cagar Budaya No. 5 Tahun 1992 pada
Bab I pasal 2 disebutkan bahwa naskah kuno atau manuskrip merupakan dokumen
dalam bentuk apapun yang ditulis tangan atau diketik yang belum dicetak atau
dijadikan buku tercetak yang berumur 50 tahun lebih. Manuskrip atau naskah kuno adalah koleksi
langka yang dimiliki oleh setiap bangsa di dunia, termasuk di Indonesia.
Akulturasi merupakan hasil integrasi budaya asing
ke dalam budaya kelompok tertentu (lokal) melalui interaksi, sehingga
unsur-unsur kebudayaan asing diterima dan diolah dalam kebudayaannya sendiri
tanpa menghilangkan karakteristik budaya lokal itu. Contoh perpaduan akulturasi
Islam dan Budaya lokal di Indonesia:
1. Akulturasi Islam dan budaya lokal dalam acara
adat
2. Akulturasi Islam dan budaya lokal dalam seni dan
konstruksi bangunan
3. Akulturasi Islam dan budaya lokal dalam konsepsi
sosial
Proses
akulturasi Islam dan budaya lokal di Indonesia:
1.
Universalitas Islam
2.
Dukungan Sosial dan Kebutuhan Afiliasi Budaya Lokal
3.
Integrasi Islam ke dalam budaya lokal
Manuskrip kuno merupakan salah satu media
komunikasi pada masa silam di wilayah nusantara yang banyak mengandung kekayaan
informasi yang melimpah. Salah satu jenis manuskrip atau naskah klasik
keagamaan yang relatif terbanyak adalah naskah keagamaan Islam, mengingat
sejarah bahwa ketika Islam dengan segala kekayaan budayanya masuk di wilayah
Nusantara. Diterimanya agama Islam oleh sebagian besar penduduk Nusantara
membawa serta suatu akulturasi dengan masyarakat pribumi. Islam diterima tidak
hanya sebagai agama, tetapi juga dengan berbagai unsur bawaannya: bahasa Arab
dengan tulisannya, kesusastraan serta adat-istiadat tanah asalnya.
D.
Daftar Pustaka
Al-Qarḍāwī,
Yūsuf. 1993. Madkhāl li al-Dirāsah al-Islāmiyyah. Beirut: Dār al-Fikr.
Budiwanti,
Erni. 2000. Islam Sasak. Yogyakarta: LKis.
Burga,
Muhammad Alqadri. 2019. Kajian Kritis Tentang Akulturasi Islam dan Budaya
Lokal, Jurnal Pemikiran Islam. Vol. 5, No. 1.
Hirma,
Susilawati. 2016. Preservasi Naskah Budaya Di Museum Sonobudoyo. Al
Maktabah Vol. 1.
Ikram, Achadiati. 1997. Filologia Nusantara.
Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Kumalasari,
F., dan L. N. Ahyani. 2012. Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan
Penyesuaian Diri Remaja di Panti Asuhan, Jurnal Psikologi Pitutur 1, no. 1.
Kuntowijoyo.
2001. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Mu’jizah. 2005. Tiga Surat Duka Raja dan
Keindahan Visualnya, Jurnal Lektur Keagamaan, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Vol. 3, No. 1.
Nasrullah,
Nurdin. 2015. Apresiasi Intelektual Islam terhadap Naskah Klasik Keagamaan.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2.
Nur, Hizbullah, dkk. 2019. Manuskrip Arab Di
Nusantara Dalam Tinjauan Linguistik Korpus, Journal of Arabic Studies, Vol.
4, No.
1.
Rinjani,
Hefrina, dan Ari Firmanto. 2013. Kebutuhan Afiliasi dengan Intensitas
Mengakses Facebook pada Remaja, Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan 1, no. 01.
Sjamsuddhuha.
2000. Corak dan Gerak Hinduisme dan Islam di Jawa Timur. Surabaya: CV.
Suman Indah.
Suryani NS, Elis. 2012. Filologi. Bogor:
Penerbit Ghalia Indonesia.
Wahid, Abdurrahman. 1989. Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia:
Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M.
Penyusun:
Ahmad Rizal Rais
Khabib Ali Sya’bana
Nur Anuk Matul Tegar
Nurul Hana
[1] Susilawati Hirma. Preservasi Naskah Budaya Di Museum
Sonobudoyo, Al Maktabah, Vol. 1, 2016, hal. 63.
[2] Nurdin Nasrullah. Apresiasi
Intelektual Islam
Terhadap Naskah Klasik Keagamaan, Jurnal
Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015. hal
506-507.
[3] Kuntowijoyo. Paradigma Islam:
Interpretasi untuk Aksi. Bandung:
Mizan, 2001, hal. 235.
[4] Sjamsuddhuha. Corak dan Gerak
Hinduisme dan Islam di Jawa Timur. Surabaya: CV. Suman Indah, 2000, hal.
33.
[5] Muhammad Alqadri Burga. Kajian
Kritis Tentang Akulturasi Islam dan Budaya Lokal, Jurnal Pemikiran Islam,
Vol. 5, No. 1, 2019. Hal. 6.
[6]
Yūsuf al-Qarḍāwī. Madkhāl li al-Dirāsah al-Islāmiyyah. Beirut: Dār
al-Fikr, 1993, hal. 61.
[7]
F. Kumalasari, dan L. N.
Ahyani.
Hubungan Antara
Dukungan Sosial dengan Penyesuaian Diri Remaja di Panti Asuhan, Jurnal Psikologi Pitutur 1, no.1, 2012, hal. 25-26.
[8] Hefrina Rinjani dan Ari Firmanto. Kebutuhan Afiliasi dengan
Intensitas Mengakses Facebook pada Remaja, Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan
1, no. 01, 2013, hal. 79.
[9] Opcit, Kuntowijoyo. hal. 229.
[10] Abdurrahman Wahid. Pribumisasi Islam dalam Islam
Indonesia: Menatap Masa Depan. Jakarta:
P3M, 1989, hal.
92.
[11]
Erni Budiwanti. Islam Sasak. Yogyakarta: LkiS. 2000, hal. 87.
[12]
Mu’jizah. Tiga Surat Duka Raja dan Keindahan Visualnya, Jurnal Lektur
Keagamaan, Jakarta: Puslitbang Lektur
Keagamaan Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI, 2005, Vol. 3, No. 1, hal. 30-31.
[13] Achadiati Ikram. Filologia
Nusantara. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1997, hal. 137.
[14] Elis Suryani NS. Filologi.
Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2012, hal. 100-107.
[15] Hizbullah Nur, Suryaningsih Iin,
Mardiah Zaqiatul. Manuskrip Arab Di
Nusantara Dalam Tinjauan Linguistik Korpus, Journal of Arabic Studies, Vol.
4 No. 1, hal. 67.
[16] Ibid. hal 70.
Berikan Komentar untuk "Manuskrip Kuno Nusantara Sebagai Potret Akulturasi Islam Dan Budaya Lokal Dalam Tradisi Tulisan"
Posting Komentar